Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Gas East Natuna Lebih dari US$10 per MMBtu

Mahalnya harga gas East Natuna ketika nanti berproduksi menjadi salah satu penyebab mundurnya ExxonMobil dalam konsorsium yang dipimpin PT Pertamina (Persero).

Bisnis.com, JAKARTA--Mahalnya harga gas East Natuna ketika nanti berproduksi menjadi salah satu penyebab mundurnya ExxonMobil dalam konsorsium yang dipimpin PT Pertamina (Persero).

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) IGN Wiratmaja Puja mengatakan dalam surat resminya kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan, pengembangan gas East Natuna tak sesuai skala ekonomis karena harga gas yang dihasilkan dari lapangan tersebut sulit untuk bisa diserap pasar.

Dengan menggunakan skema kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) dan situasi saat ini, harga gas di tingkat hulu dari East Natuna lebih dari US$10 per MMBtu. Artinya, harga gas tersebut, belum termasuk biaya penghantaran melalui pipa maupun biaya pencairan gas bila akan diubah menjadi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG).

"Yang jelas lebih dari US$10. Harga gas di hulunya," katanya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, Blok East Natuna menyimpan potensi sebesar 222 trilion cubic feet (Tcf) dengan hanya 46 Tcf gas di antaranya yang bisa diproduksi. Pasalnya, 72% komposisinya adalah karbondioksida.

Pengembangan East Natuna bukan yang pertama kalinya. Kontrak kerja sama Blok Natuna D-Alpha diteken pada 1980. Setelah kontrak berakhir, pemerintah pertama kalinya secara resmi menunjuk Pertamina untuk mengembangkan Blok Natuna D-Alpha dalam Surat Menteri ESDM No 3588/11/MEM/2008 tertanggal 2 Juni 2008 tentang Status Gas Natuna D Alpha.

Setelah itu, Pertamina mengajak mitra dan kemudian menandatangani prinsip – prinsip kesepakatan (principle of agreement/PoA) Blok East Natuna pada 19 Agustus 2011 bersama Esso Natuna Limited, perusahaan afiliasi ExxonMobil dan PTT EP Thailand.

Penandatanganan ini bertujuan untuk melanjutkan proses persiapan kontrak kerja sama yang baru. PoA yang seharusnya berakhir pada penghujung 2015 ini kemudian diperpanjang 30 bulan untuk menyelesaikan TMR belum selesai. Mengingat urgensinya, kajian pun dipercepat dan selesai di medio 2017.

Terpisah, Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan dengan tak lagi terlibatnya ExxonMobil, akan dicari mitra-mitra lain yang berpeluang untuk mengembangkan gas Natuna. Menurutnya, perseroan tak akan bisa mengembangkan sendirian lapangan gas yang ditarget mulai berproduksi pada 2027 itu karena biaya dan risikonya yang terlalu tinggi.

"Pastinya Pertamina tidak mungkin mengembangkan sendiri, terlalu besar biaya dan risikonya," ujarnya.

Dia menilai kendati anggota konsorsium tak lagi sama, hasil kajian masih akan dijadikan acuan pengembangan East Natuna. Terkait mitra yang akan digandeng, Syamsu menuturkan telah terdapat beberapa perusahaan migas internasional (international oil company/IOC) yang berminat turut mengembangkan gas Natuna.

"Ada beberapa IOC yang juga tertarik untuk ikut mengembangkan blok tersebut," kata Syamsu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper