Bisnis.com, JAKARTA—Pabrikan manufaktur banyak yang mengistirahatkan pekerja selama sepekan penuh pada periode Lebaran lalu. Imbasnya, kegiatan produksi industri pengolahan sempat tersendat pada pekan terakhir Juni.
Nilai ekspor produk manufaktur pada Juni 2017 tercatat senilai US$8,49 miliar, atau terkoreksi 21,21% dibandingkan dengan Mei 2017 senilai US$10,75 miliar. Nilai ekspor itu juga lebih rendah 16,83% dibandingkan dengan Juni 2016.
“Kalau dilihat polanya, selalu ada tren penurunan ekspor ketika Lebaran. Tahun lalu Lebaran jatuh pada Juni, ekspornya juga drop,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, Senin (17/7/2017).
Terlebih, pada Lebaran tahun ini banyak pabrikan yang meliburkan pekerjanya selama sepekan penuh. Alhasil, kegiatan produksi juga terhenti lebih lama dari periode biasanya.
“Libur kerja dan pelarangan truk kontainer masuk tol sejak H-7 juga membuat total ekspor turun. Memang ini fenomena seasonal lebaran, dan kalau menengok tren tahun-tahun sebelumnya ekspor akan naik lagi sesudah Lebaran,” ujar Suhariyanto.
Badan Pusat Statistik menganggap produk manufaktur masih menjadi tumpuan bagi keseluruhan kinerja ekspor Indonesia. Nilai ekspor produk manufaktur meningkat 10,05% yoy menjadi US$59,8miliar pada semester pertama 2017.
Produk manufaktur berperan sebesar 74,77% dari total ekspor year to date Januari—Juni 2017 senilai US$79,96miliar. Kontribusi produk manufaktur terhadap ekspor melebihi peranan sektor pertambangan (13,58%), migas (9,51%), dan pertanian (2,14%).
Pangsa ekspor terbesar Indonesia selama semester pertama 2017 merupakan China (12,61%), Amerika Serikat (11,58%), dan India (9,47%). China menjadi negara tujuan utama dengan nilai ekspor senilai US$9,13 miliar. Sementara itu, AS menyusul sebagai tujuan terbesar kedua dengan nilai ekspor US$8,37 miliar dan nilai ekspor ke India mencapai US$6,85 miliar.