Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mengklaim penerapan kontrak bagi hasil kotor atau gross split dengan tambahan split hingga 5% lebih baik keekonomiannya dibandingkan dengan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) cost recovery.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan dari hasil hitungan keekonomian, penerapan skema gross split justru lebih baik hasilnya dibandingkan dengan PSC cost recovery yang saat ini berlaku. Hal itu, katanya, diperkuat dengan hasil riset lembaga independen internasional Wood Mackenzie yang datang memberikan paparan hasil riset terbarunya.
Hasil riset kali ini, tutur Arcandra, cukup adil. Mengingat, Wood Mackenzie memasukkan komponen efisiensi waktu dari proses pengadaan dan tambahan split hingga 5% melalui diskresi Menteri ESDM.
Seperti diketahui, sebelumnya, Wood Mackenzie mengeluarkan hasil riset bahwa upaya pemerintah untuk mengubah sistem PSC cost recovery menjadi gross split bagi kontrak baru dan blok habis kontrak tak mampu memacu investasi hulu. Adapun, ketentuan fiskal yang ditawarkan dianggap belum cukup untuk menarik investor.
Namun, belum lama laporan itu diterbitkan, Kementerian ESDM mengirimkan surat agar hasil riset direvisi karena terdapat faktor positif yang belum masuk dalam hitungan.
"Hasilnya bagus. Sekarang fair enough karena dia memasukkan gross split dengan penghematan waktu dua tahun dan dilengkapinya juga kajiannya dengan memasukkan kebijakan gross split dari menteri sebesar 5%. Jadi itu lebih baik dari PSC biasa," ujarnya di Jakarta, Selasa (11/7/2017).
Kendati demikian, perhitungan riset tersebut belum mengakomodasi pajak gross split yang saat ini beleidnya masih dalam pembahasan. Dia menganggap masalah pajak yang nantinya diatur dalam beleid berupa Peraturan Pemerintah (PP), tak akan banyak mengubah keekonomian lapangan.
Pasalnya, bagi hasil pemerintah:kontraktor yakni 52:48 untuk gas dan minyak 57:43 belum termasuk pajak. Adapun, dalam gross split, karena tak lagi mendapat pengembalian biaya operasi, pajak menjadi tanggungan kontraktor.
"Berapa sih besarnya? PP masih digodok," katanya.
Sebelumnya, Analis Hulu Migas Wood Mackenzie, Johan Utama mengatakan dalam gross split, kontraktor perlu menekan biaya untuk mendapatkan keuntungan. Hal tersebut, katanya, akan membuat pengembangan gas dan sumber-sumber yang terdapat di laut dalam menjadi tantangan tersendiri padahal arah pengembangan nantinya merupakan sumber-sumber gas, di laut dalam dan lokasinya yang jauh dari pasar.
Investor harus memilih proyek yang berisiko dan berbiaya rendah untuk memastikan keuntungan yang diperoleh tetap terjaga. Prinsip tersebut bertolak belakang dengan pengembangan gas yang memiliki tantangan dalam tahap komersialisasinya. Di samping itu, kegiatan di wilayah kerja yang berlokasi di laut dalam dan daerah terpencil membutuhkan biaya lebih besar.
Dalam gross split, dia menyebut permainan dalam kontrak gross split adalah efisiensi biaya. Pada gross split, biaya operasi menjadi sangat sensitif terhadap keuntungan. Untuk mendapatkan keuntungan, kontraktor perlu menekan biaya operasi.
Namun, berdasarkan hasil riset, kontraktor perlu menurunkan biaya paling tidak 10% pada proyek minyak dan penurunan biaya lebih tinggi sebesar 75% pada proyek gas untuk mendapatkan pengembalian modal yang setara dengan penggunaan kontrak cost recovery yang saat ini diterapkan.
Proyek gas membutuhkan penurunan biaya lebih tajam karena memerlukan proses untuk menjualnya. Sebagai gambaran, dia menjelaskan, untuk bisa terserap pasar, gas yang dihasilkan harus terjamin ketersediaan infrastruktur pipa gas atau perlu diubah dulu menjadi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) untuk bisa dipasarkan.
Lokasinya yang jauh dari pasar, harga jual, pun menjadi faktor ketidakpastian yang bisa mempengaruhi keuntungan. Di sisi lain, lokasi wilayah kerja di laut dalam juga membutuhkan biaya yang lebih besar untuk membangun fasilitas produksi baik untuk gas maupun minyak.
"Untuk proyek gas, tantangan terbesar adalah proyek gas laut dalam. Proyek seperti ini membutuhkan biaya sangat tinggi di depan, sehingga sangat sensitif terhadap perubahan biaya. Proyek gas laut dalam ini yang dalam simulasi kami memerlukan pengurangan biaya sangat tinggi," katanya.
Managing Director Asia Pacific Upstream Research&Consulting IHS, Nick Sharma mengatakan untuk menggairahkan investasi hulu migas dengan sistem baru yang diperkenalkan pemerintah, dia menyebut semua pihak harus mau berbenah diri. Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dengan berlakunya kontrak gross split.
Pertama, industri dan pemerintah harus bisa melakukan efisiensi sekitar 10% dari kebebasan memilih vendor dan berkomitmen untuk mempercepat proses hingga dua tahun karena perubahan mekanisme pengadaan. Menurutnya, percepatan tersebut harus bisa dibuktikan secara kuantitatif.
Kedua, split bagi kontraktor diharapkan bisa bertambah 15%. Ketiga, di Kementerian Keuangan, dia berharap bisa menghapuskan pajak-pajak tidak langsung yang timbul pada kegiatan usaha hulu migas.
Melalui ketiga hal ini, dia meyakini minat investasi hulu bisa tumbuh meskipun pemerintah memperkenalkan sistem yang baru. Skenario ini memfokuskan pada pendapatan pemerintah akan lebih baik, namun harus dipertimbangkan pula bagaimana bisa menjamin ketahanan energi dan kontraktor mendapat keuntungan.