Bisnis.com, JAKARTA—Produsen baja pelat merah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. bakal merampungkan dua pabrik baru hasil joint venture dengan Nippon Steel dan Osaka Steel pada kuartal ketiga tahun ini.
Kedua pabrik itu beroperasi di bawah entitas patungan bernama PT Krakatau Nippon Sumikin Steel (KNSS) dan PT Krakatau Osaka Steel (KOS).
Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel Purwono Widodo menyatakan kedua pabrik itu bakal menambah kapasitas produksi klaster baja Cilegon sebesar 1 juta ton per tahun. “Keduanya sama sama tahun ini. KOS mungkin bulan ini, dan yang KNNS mungkin jalan Agustus,” ujar Purwono di Jakarta, Senin (10/7).
Kedua pabrik itu memiliki kapasitas terpasang sebanyak 500 ribu ton. Hanya saja, KOS lebih difokuskan untuk memproduksi baja jenis long product. Sementara KNNS lebih berfokus untuk memproduksi produk baja lapis.
Penyerapan hasil produksi kedua pabrik itu bakal diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri otomotif Jepang yang beroperasi di Indonesia. “Customernya itu perusahaan perusahaan otomotif Jepang, kan itu ada banyak di sini,” ujar dia.
Di samping itu, Krakatau juga segera merampungkan fasilitas pabrik baja lembaran panas (hot strip mill/HSM) yang kedua. Pengerjaan pabrik itu ditargetkan bisa selesai pada 2019. Tahap konstruksi fasilitas itu sudah mencapai 15%. Pabrik itu bakal menambah kapasitas produksi baja jenis hot rolled coil sebanyak 1,4 juta ton setiap tahun.
Baca Juga
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan sudah menemui jajaran direksi Pohang Iron and Steel Company (Posco) di Korea Selatan mengenai roadmap pengembangan kapasitas baja di Indonesia.
Pada kesempatan itu, Airlangga juga membicarakan rencana Krakatau untuk meningkatkan porsi kepemilikan saham pada PT Krakatau Posco. Porsi kepemilikan Krakatau pada PT Krakatau Posco saat ini sebesar 30%. “KS ingin menjadi pemegang saham mayoritas,” ujar dia.
Dengan demikian, Airlangga berharap ekspansi klaster baja Cilegon mampu terealisasi lebih cepat. Seperti diketahui, klaster baja di Cilegon ditargetkan memproduksi sebanyak 10 juta ton setiap tahun mulai 2025.
Baja Impor
Produksi pabrikan domestik masih belum mencapai kapasitas maksimum lantaran tak mampu menyaingi harga baja impor asal China. Terutama dengan masuknya produk baja paduan yang terbebas pengenaan bea masuk.
“Masalah impor alloy steel, memang butuh pengendalian yang lebih efektif. Sekarang lagi proses supaya impornya terkena beamasuk antidumping,” ujar Purwono Widodo.
Badan Pusat Statistik mencatat impor baja selama Januari—Mei 2017 tercatat sebanyak 5,43 juta ton dengan nilai mencapai US$ 3,08 miliar. Nilai impor itu naik 31,48% dibanding periode yang sama pada 2016, yaitu senilai US$2,3 miliar dengan volume sebesar 5,38 juta ton.
Asosiasi Besi dan Baja ASEAN (Southeast Asia Iron and Steel Institute/SEAISI) mencatat permintaan baja pada seluruh negara ASEAN mengalami pertumbuhan dua digit, kecuali Malaysia dan Singapura.
Vietnam mengalami kenaikan permintaan baja tertinggi yakni sebanyak 22,3% yoy menjadi sebanyak 22,3 juta ton. Thailand berada di urutan kedua dengan kenaikan permintaan domestik sebesar 15,1% yoy menjadi 19,2 juta ton. Sementara itu, permintaan baja di Indonesia melonjak 11,4% yoy menjadi 12,7 juta ton.
Sekjen SEAISI Tan Ah Yong menyatakan sebenarnya industri baja di China sudah mulai mengurangi volume ekspor lantaran pemerintahnya mencabut pemberlakuan tax rebate pada komoditas baja. Di samping itu, pergerakan harga baja di pasar domestiknya semakin membaik. Kedua faktor itu turut membuat ekspor baja China anjlok 25,7% yoy dalam kurun waktu Januari—Mei 2017 menjadi 34,19 juta ton.
Seperti diketahui, China mengekspor sebanyak 108,43 juta ton baja ke berbagai negara pada 2016. Tapi, pemerintah China berkomitmen untuk memangkas kapasitas produksi baja domestiknya sebanyak 50 juta ton mulai tahun ini.