Bisnis.com, JAKARTA — Sektor manufaktur menghadapi tantangan stagnasi permintaan domestik meskipun ada momentum Ramadan Lebaran.
Melesunya permintaan pasar domestik berbanding terbalik dengan meningkatnya permintaan produk manufaktur dari luar negeri. Sejumlah industri manufaktur merasakan kenaikan permintaan dari pasar ekspor.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia Elisa Sinaga memperkirakan permintaan keramik di pasar domestik tahun ini sulit untuk tumbuh dua digit dibanding tahun lalu. Sebab sektor properti nasional belum begitu menggeliat seperti yang diharapkan.
Tapi menurutnya, perbaikan sektor properti dari negara negara tujuan ekspor di ASEAN bisa menjadi harapan penumpu penjualan. “Untuk pasar domestiknya mungkin baru bisa membaik di kuartal ketiga keempat, biasanya pengerjaan proyek properti berjalan. Untuk yang diekspor, memang kita merasakan adanya kenaikan permintaan walau mungkin naiknya tidak terlalu banyak,” ujar Elisa kepada Bisnis, Selasa (4/7/2017).
Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor produk keramik pada Mei 2017 US$31,4 juta, atau naik 7,68% dibanding April 2017. Nilai ekspor keramik periode Januari—Mei 2017 tercatat senilai US$148,06 juta, atau naik 7,76% yoy dibanding periode Januari—Mei 2016 senilai US$137,4 juta.
Elisa juga berpendapat ekspor keramik bisa semakin terdongkrak bila harga produk di negara tujuan bisa semakin kompetitif. Maka pemerintah perlu memastikan struktur biaya yang ditanggung industri semakin efisien.
Salah satu komponen biaya yang masih dirasa terlalu tinggi bagi pabrikan keramik merupakan harga gas. Gas bagi industri keramik masih berkisar US$ 8-12 per million metric british thermal unit. Angka itu masih jauh di atas janji pemerintah senilai US$6 per million metric british thermal unit kepada industri strategis.
Di samping itu, pabrikan sepatu domestik juga merasakan adanya kenaikan permintaan dari pasar ekspor. Sekjen Asosiasi Persepatuan Indonesia Binsar Marpaung yakin permintaan global terhadap produk footwear selalu paralel dengan prospek pertumbuhan ekonomi global. Menurutnya, asumsi itu juga didukung dengan data kenaikan permintaan terhadap sepatu hasil produksi domestik.
Binsar memperkirakan pertumbuhan permintaan dari pasar ekspor mampu mendekati pertumbuhan dua digit pada semester kedua. “Ekspor footwear itu pasti naik terus setiap tahun, tinggal kenaikannya itu lebih baik apa lebih lambat. Saya berharapnya ekspor footwear tahun ini bisa melebihi proyeksi pertumbuhan kita, mudah mudahan bisa mendekati dua digit,” ujar Binsar kepada Bisnis.
Indonesia diuntungkan dengan upah yang relatif lebih murah dibanding negara neagra basis produksi sepatu lainnya. Menurutnya, upah tenaga kerja pabrikan sepatu Indonesia hanya sedikit lebih tinggi dibanding Kamboja dan Vietnam.
Hanya saja, industri alas kaki di Indonesia masih belum mendapat kemudahan dalam memperoleh bahan baku kulit. Akibatnya, produksi sepatu bisa terganggu mana kala negara asal mulai membatasi produksi bahan baku.
“Kita itu sangat bergantung sekali dengan bahan baku impor. Itu juga yang membuat daya saing kita masih di bawah Vietnam dan Kamboja. Bahan bakunya lebih sulit didapat dan proses karantinanya memakan waktu,” ujar dia.
Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor sepatu senilai US$465,1 juta pada Mei 2017, atau naik 16% dibanding bulan sebelumnya senilai US$400,7 juta. Ekspor sepatu periode Januari—Mei 2017 senilai US$2,06 miliar, atau naik 5,16% dibandingkan periode Januari—Mei tahun lalu senilai US$1,95 miliar.
Sepatu pabrikan domestik yang diekspor masih didominasi oleh produk-produk sepatu olahraga. Nilai ekspor sepatu olahraga pada Mei 2017 tercatat senilai US$252,36 juta, atau naik 8,16% dibanding bulan sebelumnya senilai US$233,33 juta.
Sepatu olahraga menyumbang nilai ekspor senilai US$1,16 miliar pada periode Januari—Mei 2017. Angka ekspor sepatu olahraga itu memperlihatkan kenaikan 7,6% dibanding periode yang sama tahun lalu senilai US$1,08 miliar.