Bisnis.com, JAKARTA—Pelemahan daya beli masyarakat menjadi faktor utama penurunan permintaan terhadap produk hasil manufaktur. Pencairan tunjangan hari raya dan gaji ke-13 yang dilakukan bersamaan tak mengangkat permintaan produk manufaktur secara signifikan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menyatakan hampir semua pengusaha di berbagai sektor industri merasakan adanya penurunan daya beli pada Ramadan Lebaran tahun ini. Berbeda dengan daya beli pada Ramadan Lebaran tahun tahun sebelumnya yang menjamin adanya lonnjakan permintaan secara signifikan.
“Banyak yang mengeluh drop sekali permintaannya kalau dibanding periode Lebaran lima tahun terakhir,” ujar Hariyadi kepada Bisnis, Senin (3/7).
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional itu juga merasa perlu ada dorongan stimulus untuk meningkatkan daya beli di tengah tingginya struktur biaya produksi sektor manufaktur. “Akhirnya dari situ banyak pengusaha yang jadi pragmatis. Daripada produksi sendiri, banyak yang berpikir kenapa gak menjadi usaha trading barang jadinya saja,” ujar dia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S. Lukman menyatakan daya beli masyarakat mengalami gejala pelemahan cukup signifikan. Imbasnya, permintaan terhadap produk makanan minuman menurun 10% dibanding Lebaran tahun lalu. “Tetap tumbuh, tapi kurang begitu bagus kalau dibanding periode periode yang sebelumnya,” ujar dia.
Menurutnya, permintaan dari berbaga supermarket tidak mengalami lonjakan berarti kendati ada Ramadan dan Lebaran pada bulan lalu. “Dari laporan di lapangan, banyak supermarket yang stoknya masih banyak menumpuk. Kalau di tahun tahun sebelumnya banyak yang sibuk melaporlan kehabisan stok sejak seminggu sebelum Lebaran.”
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menyatakan masyarakat cenderung menahan pengeluaran pada periode Ramadan Lebaran kemarin. Akibatnya, permintaan terhadap produk tekstil anjlok cukup tajam dibandung tahun tahun sebelumnya. Bahkan menurutnya, merosotnya angka penjualan tekstil pada lebaran tahun ini merupakan yang terburuk bila dibandingkan puluhan tahun ke belakang.
Ditambah lagi, distribusi arus barang terhambat dengan pengetatan pengawasan petugas pajak terhadap retailer tekstil. Sebab pabrikan tekstil dilarang mendistribusikan produknya ke gerai yang belum terdaftar sebagai pengusaha kena pajak.
Pengetatan arus distribusi barang itu semakin memukul penjualan tekstil. Sebab penjualan tekstil didominasi oleh toko skala kecil yang omzet bisnisnya tergolong pendapatan tidak kena pajak.
Berbelitnya proses distribusi memaksa itu pabrik memangkas skala produksinya. “Akhirnya penjualan kita yang jatuh, meskipun sebenarnya tidak jelas tujuan Ditjen Pajak itu maunya apa.”