Bisnis.com, JAKARTA - Para pelaku usaha angkutan barang berbasis jalan raya truk keberatan berkurangnya insentif pajak yang diberikan pemerintah terhadap angkutan umum barang.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28/2017 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2017, insentif pajak terhadap angkutan umum barang berkurang 30%.
Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk angkutan umum barang, dalam peraturan tersebut, ditetapkan 80% dari dasar pengenaan PKB. Kemudian pengenaan Bea Balik Nama (BBN) PKB angkutan umum barang ditetapkan 80% dari dasar pengenaan BBN - PKB.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Bidang Distribusi dan Logistik Kyatmaja Lookman mengatakan pihaknya keberatan dengan keputusan pemerintah mengurangi insentif bagi para pelaku usaha angkutan umum barang.
Dia mengungkapkan para pelaku usaha truk sebelumnya hanya membayar PKB dan BBN - PKB sebesar 50% dari dasar PKB dan dasar BBN - PKB.
“Sangat [keberatan]. Buat apa kita jadi plat kuning kalau disparitasnya saja sedikit,” ungkapnya Kyatmaja di Jakarta pada Selasa (6/6/2017).
Dia menambahkan angkutan barang umum jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Oleh karena itu, dia menilai pemerintah seharusnya membebani para pemilik kendaraan pribadi.
Dalam pandangannya, langkah pemerintah membebani angkutan umum barang dibandingkan dengan kendaraan pribadi menunjukkan pemerintah tidak berniat memajukan transportasi massal. “Malah yang dibebani yang menggerakkan ekonomi,” ujarnya mengeluhkan.
Dia menambahkan pengurangan insentif pajak sebesar 30% terhadap angkutan umum barang merupakan kebijakan kontraproduktif untuk menurunkan biaya logistik.
Perlahan dan pasti, lanjutnya, kebijakan akan memengaruhi tarif angkutan barang ke konsumen. “Yang jelas akan menaikkan biaya surat-surat, STNK [Surat Tanda Nomor Kendaraan] khususnya,” kata Kyatmaja.
Sementara itu, Direktur PT Dunia Express Trasindo (Dunex) Jimmy Ruslim mengatakan pengurangan insentif pajak tersebut dapat membuat biaya logistik juga pada gilirannya mengalami kenaikan.
Padahal, tuturnya, para pelaku usaha truk baru saja meminta kemudahan berupa penghapusan beban biaya terhadap pembelian truk baru mengingat para pelaku usaha angkutan barang umum tidak bisa menagih Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap konsumen.
Hingga saat ini, permintaan para pelaku usaha truk terhadap pemerintah guna menghilangkan beban biaya pembelian truk baru belum terpenuhi. “Belum saya hitung detailnya. Tapi, kalau dibagi ritase setahun ya tidak terlalu besar. Yang berat adalah biaya tahunan pengusaha truk jadi bertambah.”
Dia melanjutkan pengurangan insentif pajak tersebut membuat perusahaan tidak bisa serta-merta menaikkan harga ke konsumen meskipun beban biaya produksi meningkat lantaran yang mengalami kenaikan bukan harga bahan bakar minyak.
Menurutnya, kenaikan inflasi, asuransi, tol, kompensasi sopir, dan kenaikan suku cadang tidak bisa diajukan oleh para pelaku usaha truk untuk menaikkan tarif angkutan barang.
Para pelaku usaha truk, dia menuturkan biasanya memasukkan seluruh komponen tersebut ketika terjadi kenaikan harga BBM. Kondisi tersebut, tegasnya tidak sehat bagi para pelaku usaha angkutan umum barang.
“Iya [penentuan tarif] dilepas ke pasar, tapi tidak ada mekanisme baku. Jadi, pasarnya membentuk seperti ini. Kondisi itu tidak sehat bagi para pelaku usaha angkutan umum barang truk,” paparnya.