Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Perindustrian mulai ikut memonitor ekspor mineral mentah untuk menjaga pasokan bahan baku industri pemurnian dalam negeri tetap tersedia. Pascarelaksasi ekspor mineral, sejumlah industri menahan investasi penambahan tungku.
Selama ini, ekspor mineral mentah hanya membutuhkan rekomendasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tanpa mempertimbangkan kebutuhan industri nasional sehingga harga nikel tidak lagi sesuai nilai keekonomian industri pemurnian dan peleburan (smelter).
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transortasi, dan Elektronika (Ilmate) Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan menyampaikan Kemenperin dan KemenESDM telah membentuk tim koordinasi untuk mulai menjaga ekspor mineral. “Pokoknya pemerintah menjaga industri smelter yang sudah investasi di sini itu tetap mendapat pasokan bahan baku. Kalau mau ekspor, rekomendasi di KemenESDM tapi kami ikut diinformasikan,” jelas Putu di Jakarta, Selasa (30/5/2017).
Putu menjelaskan saat pemerintah menutup ekspor mineral mentah pada 2013, investor logam dasar asal China mulai membanjiri Tanah Air karena mereka kekurangan pasokan bahan baku. Kemenerin menilai relaksasi ekspor mineral justru akan membuat investor lari. Untuk itu, Putu berujar Kemenerin akan memberikan masukan pada Kementerian ESDM sehingga menjadi referensi dalam memberikan rekomendasi ekspor.
Sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) melihat prospek industri pemurnian ke depan masih mengalami perlambatan karena tren pergerakan harga logam global yang terus terkoreksi. Kebijakan pemerintah merelaksasi ekspor mineral mentah semakin menekan laju pertumbuhan produksi asilitas pemurnian logam. “Kebijakan pelonggaran ekspor konsentrat itu akhirnya menyusahkan investor yang sudah terlanjur menanamkan modal di Indonesia,” ujar Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia Jonathan Handojo kepada Bisnis, belum lama ini.
Dia menyebutkan sebanyak delapan perusahaan pemilik fasilitas smelter mencatatkan kerugian operasional sampai kuartal pertama 2017. Sebanyak enam perusahaan lain akhirnya memutuskan menutup fasilitas pengolahan mineral pada periode yang sama. “Sementara itu, selebihnya menunda operasi dulu meskipun smelternya baru dibangun.”
Menurutnya, pelaku industri pemurnian logam berada dalam posisi yang tidak diuntungkan. Ia berharap pemerintah mengembalikan mandatory kewajiban pengolahan bagi mineral mentah yang diproduksi di dalam negeri. Terlebih, menurutnya investasi di sektor pengolaha logam sudah terlanjur menelan biaya yang tidak sedikit yakni sebesar US$20 miliar
selama periode 2012-2016. Di Indonesia terdapat 32 perusahaan pengolahan dan pemurnian logam hasil tambang yang mengolah konsentrat nikel, alumina, besi, dan tembaga.