Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pelaku industri kosmetik dalam negeri meminta pemerintah kembali memberlakukan proses verifikasi pada produk-produk impor.
Permintaan itu muncul karena industri lokal terpukul oleh produk luar yang volumenya kian membanjiri pasar kosmetik nasional.
Ketua Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia (PPA Kosmetika) Putri K. Wardhani mengungkapkan pabrikan lokal terdesak karena pasar yang jenuh dengan produk impor.
Produk impor masuk setelah Kementerian Perdagangan membebaskan proses audit dan verifikasi produk.
“Dengan maraknya kosmetik impor masuk secara bebas tanpa verifikasi di pelabuhan, hal itu menekan daya saing produsen lokal. Produk impor itu bisa tidak membayar pajak full dan tidak harus mengikuti UU perburuhan kita yang cukup berat,” ujar Putri di Jakarta, Minggu (28/5/2017).
Baca Juga
Putri meminta pemerintah segera merapikan tata niaga kosmetika nasional, dan membuka pasar impor hanya untuk produk-produk premium yang produksinya di dalam negeri masih sedikit.
Dengan tata niaga yang lebih rapi, kinerja pabrikan kosmetik lokal pun diyakini dapat terdongkrak.
Pemerintah sempat memberlakukan proses verifikasi pada kosmetik impor. Kebijakan itu dicabut saat Thomas T. Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
PPA Kosmetik mencatat kebijakan bebas verifikasi kosmetik impor yang tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 87 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu berdampak hebat pada kinerja industri kosmetik nasional.
Akibat kebijakan tersebut, penjualan produk kosmetik produksi nasional anjlok di kisaran 17%—20% sepanjang periode Januari—Maret 2017.
Menurut Putri, produsen lokal masih wait and see terhadap kinerja penjualan di kuartal II/2017.
Maraknya peredaran kosmetik ilegal juga ditunjukkan dengan hasil penangkapan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum lama ini.
BPOM menggerebek sebuah pabrik kosmetik ilegal di Tangerang dan menemukan berbagai sabun impor asal Filipina dan Thailand.
Nilai temuan 450 item produk ilegal tersebut diprediksi mencapai Rp26 miliar, dan sebanyak 80%-nya merupakan produk kosmetik yang mengandung zat kimia berbahaya.
BPOM menyebut peredaran produk ilegal masih sulit diawasi, terutama karena diperdagangkan melalui pasar dalam jaringan (daring/online).