Bisnis.com, JAKARTA—Pengusaha terkendala dengan ketentuan batas kawasan industri
seluas 400 hektare yang berdampak pada tingginya sewa per unit.
Pengelola kawasan industri semakin khawatir dengan rencana pengurangan batas lahan kawasan industri menjadi hanya seluas 200 hektare. Wacana itu sempat dimunculkan dalam pembahasan RUU Pertanahan yang masih bergulir di parlemen.
Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Sanny Iskandar menyatakan kawasan industri memerlukan luas lahan di atas 400 hektare. Sebagai gambaran, satu perusahaan petrochemical di sebuah kawasan industri petrokimia paling tidak membutuhkan lahan seluas 150 hektare—200 hektare.
“Kalau kawasan industri dibatasi luasnya hanya 400 hektare, biayanya yang dikenakan bagi tenant masih sangat mahal sekali. Apalagi kalau dikurangi jadi hanya 200 hektare,” ujar Sanny, Selasa (22/5/2017).
Menurutnya, aturan yang sekarang berlaku di Kementerian Agraria dan Tata Ruang memperkenankan penerbitan izin lokasi untuk lahan kawasan industri di atas 400 hektare. Hanya saja, peluang itu membutuhkan persetujuan Menteri Agraria dan Tata Ruang. Sanny mengusulkan pemerintah mencabut klausul ketentuan batas luas area kawasan industri. Sebab pengembangan kawasan industri sudah melalui uji kelayakan dan penyesuaian dengan rencana tata ruang daerah. “Kalau dikhawatirkan seolah kawasan industri menguasai lahan, itu salah. Sebenarnya kawasan industri hanya mengusahakan lahan.”
Terlebih, pengembang kawasan industri sudah menghadapi kesulitan untuk urusan pembebasan lahan. Pembebasan lahan kawasan industri selalu diikuti dengan munculnya spekulan tanah. Padahal, pengembang kawasan industri sudah bersusah payah untuk mencari pendanaan investor. “Tidak ada kepastian saat pembebasan lahan, berapa harga wajarnya harga lahan untuk kawasan industri. Pemerintah harusnya masuk di situ.”
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menganggap perhatian pemerintah terhadap pengembangan industri begitu rendah. Rendahnya komitmen terhadap industri diperlihatkan dengan ketidakberpihakan kebijakan terhadap industri manufaktur. “Coba bayangkan, lahan kawasan industri dibatasi 400 hektare. Tapi kok untuk satu lahan perkebunan sawit boleh dibiarkan maksimal 100.000 hektare,” ujar Faisal.
Padahal, industri manufaktur menjamin peningkatan nilai tambah yang jauh lebih tinggi daripada sektor perkebunan. Pengaruh industri manufaktur terhadap PDB Indonesia bahkan mencapai 20%. Dalam 10 tahun terakhir, ujar dia, sudah banyak perusahaan manufaktur yang beralih ke sektor jasa. Hal itu ditunjukkan dengan pesatnya peningkatan kontribusi sektor jasa, yaitu sudah mencapai 59% terhadap PDB. Sebab menurutnya pemerintah kini lebih memproteksi sektor jasa ketimbang manufaktur. Akibatnya, pabrikan berhenti beroperasi dan beralih ke bisnis lain.
Menurutnya, pemerintah perlu meningkatkan daya saing industri untuk mengundang investasi. “Dan perlu dicatat, tidak ada negara yang bisa maju tanpa industri yang kuat. Ujung tombak ekonomi itu ada di pertumbuhan industri.”