Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha sektor minyak dan gas bumi mempertanyakan soal kelanjutan investasi skala besar dalam penerapan kontrak bagi hasil kotor atau gross split.
Direktur Operasi Medco Energi Ronald Gunawan mengatakan, pihaknya telah melakukan simulasi dan mendapatkan kesimpulan bahwa penerapan gross split pada wilayah kerja yang membutuhkan investasi besar membuat pengembangan lapangan tak sesuai keekonomian. Sebaliknya, pada lapangan yang membutuhkan investasi kecil, gross split justru lebih menarik dibandingkan dengan skema bagi hasil (production sharing contract/PSC) cost recovery.
"Kita lihat PSC-PSC yang memang oil dan juga investment profile enggak terlalu tinggi itu ok. Namun, kalau PSC-nya oil atau gas yang investment profile-nya tinggi, itu cukup jauh [selisih keekonomian] gross split sama PSC," ujarnya dalam sesi workshop tentang Kontrak Gross Split dan Pengembalian Investasi Kegiatan Hulu Migas di Jakarta, Senin (8/5).
Dia mengakui simulasi yang dilakukan belum memasukkan asumsi penghematan waktu dengan tidak berlakunya Pedoman Tata Kerja (PTK) No. 007 di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Namun, dia menuturkan kalaupun efisiensi harus dilakukan, hal itu tak lagi realistis untuk membuat kegiatan sesuai keekonomian. Dia menilai perlu diskusi lebih lanjut untuk bisa menjelaskan secara detail.
"Belum [hitung komponen penghematan waktunya]. Tapi kita bikin plot nya dan itu cukup besar enggak bisa dibuka di sini. Jadi kalau pun ada efisiensi, enggak realistik lagi," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan pihaknya melihat masih terdapat ketidakpastian terkait pengaturan perpajakan. Pasalnya, terdapat gesture bahwa pemerintah akan menerapkan rezim pajak baru dengan berlakunya kontrak gross split.
Dia menyebut terdapat rapat khusus tentang perpajakan. IPA, katanya, turut diundang tapi berhalangan hadir dan pihaknya mengetahui bahwa yang dibahas merupakan tentang pengenaan pajak pada kontrak gross split berupa peraturan pemerintah (PP). Oleh karena itu, kecenderungannya pelaku usaha hulu migas akan menunggu sampai semua pengaturan jelas sebelum memutuskan untuk menggunakan gross split.
"Jadi kalau orang mau pakai gross split, tentunya orang akan menunggu, Pak. Saya juga enggak tahu PP dari Kementerian Keuangan yang berisi angka-angka perpajakan yang akan dipakai gross split itu keluarnya kapan tapi jelas mereka sedang mereview," katanya.
Selain itu, dia mendorong agar pemerintah bisa membahas dengan masing-masing kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Utamanya, terkait keekonomian lapangan yang dikhawatirkan menurun dengan penggunaan kontrak gross split. Dia pun mempertanyakan apakah masih terdapat ruang perubahan dalam beleid tersebut. Dalam forum juga beberapa pelaku usaha seperti perwakilan dari Energi Mega persada bertanya apakah beleid ini akan bertahan lama.
"Kalau memang betul banyak yang enggak masuk hurdle keeekonomiannya, apakah ada ruang untuk merubah permen nya menjadi lebih menarik?"
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan seharusnya kontraktor bisa memasukkan komponen efisiensi waktu sebesar dua hingga tiga tahun itu sebelum membuat kesimpulan bahwa penerapan gross split tak membuat keenomian lapangan lebih menarik. Pasalnya, dia menyebut efisiensi waktu didapat dari hasil perhitungan operasi di 10 lapangan. Penghematan waktu dari mekanisme pengadaan mandiri, katanya, pastinya memberikan keuntungan kepada kontraktor.
Dari data Kementerian ESDM, tata waktu pengembangan wilayah kerja saat menggunakan gross split justru lebih cepat. Pada simulasi di Lapangan Tangguh, Papua (BP), durasi 105 bulan terpangkas menjadi 83 bulan; di Lapangan Banyu Urip (ExxonMobil Cepu Limited) dari 152 bulan menjadi 120 bulan; Lapangan Jambaran-Tiung Biru (Pertamina EP Cepu) 86 bulan menjadi 73 bulan; Lapangan Jangkrik (ENI) 84 bulan menjadi 71 bulan dan Lapangan Bangka (Chevron) dari 106 bulan menjadi 83 bulan.
Sisanya, penghematan waktu pengembangan juga terlihat pada simulasi di Lapangan Donggi (Pertamina EP) dari 104 bulan menjadi 91 bulan, Lapangan Matindok (Pertamina EP) dari 88 bulan menjadi 73 bulan, Lapangan Senoro (JOB Medco Tomori) saat menggunakan PSC cost recovery membutuhkan waktu 130 bulan dan menjadi 116 bulan ketika menggunakan gross split, begitu juga dengan Blok A (Medco) 136 bulan menjadi 118 bulan dengan gross split serta Lapangan Kepodang (Petronas) dari 134 bulan saat pakai PSC cost recovery menjadi 113 bulan ketika menggunakan gross split.
Namun, bila masih belum menarik, masih terdapat tambahan split 5% yang bisa diperoleh kontraktor melalui diskresi Menteri ESDM Ignasius Jonan. Dengan investasi US$10 miliar, katanya, bisa didapatkan solit setara US$500 juta.
"Ada dengan melakukan procurement mandiri ada usaha-usaha berapa impact saving cost nya. Kalau enggak dimasukkan, gross split itu ibaratnya makanan tanpa garam, hambar. Justru kekuatan gross split itu dari situ," katanya.
Dia mengakui masih perlu percepatan tambahan dari sisi pengurusan izin. Dia pun menginginkan agar kontraktor langsung melakukan kegiatan ketika memenangkan blok yang dilelang. Sayangnya, masih terdapat kementerian atau institusi lain yang berkaitan dengan kegiatan operasi hulu migas yang harus diikuti aturannya seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dari data SKK Migas, waktu yang dari pencarian cadangan sampai produksi pertama atau lead time di beberapa daerah berbeda-beda. Di Jawa Timur untuk wilayah lepas pantai membutuhkan waktu di atas 15 tahun. Riau membutuhkan 15 tahun, di lepas pantai Kalimantan Timur 10 tahun sementara di daratan Maluku dan Kalimantan butuh sekitar 7 tahun.
"Satu per satulah, kita sadari banyak izin yang lama, untuk itu harus dicari caranya gimana izin dipercepat. Kemudian, edukasi semua kementerian lain. Kita harap sama pengertiannya," katanya.