Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meyakini penerbitan payung hukum moratorium izin perkebunan kelapa sawit dapat menjadi senjata bagi pemerintah untuk menangkal berbagai tuduhan negatif dari negara maju.
“Instruksi presiden tentang moratorium sawit memang perlu didorong sehingga kita bisa kasih tahu kepada dunia bahwa Indonesia berkomitmen mendukung pengurangan emisi karbon,” kata Direktur Jenderal Planologi Kehutanan KLHK San Afri Awang dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Selasa (18/4/2017).
Moratorium izin perkebunan kelapa sawit diwacakan Presiden Joko Widodo pada 14 April 2016. Saat ini, draf inpres mengenai moratorium sudah final dan tinggal diteken Presiden Jokowi.
Salah satu tudingan termutakhir terhadap kelapa sawit datang dari Parlemen Eropa yang pada Selasa (4/4/2017) menerbitkan resolusi Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Dalam laporan itu, mereka memang merekomendasikan pemerintah untuk menerbitkan moratorium izin perkebunan kelapa sawit.
Jauh sebelum itu, pemerintah sebenarnya sudah memberlakukan moratorium izin di areal gambut dan hutan primer. Namun, Awang menyesalkan langkah pemerintah menekan deforestasi itu diabaikan oleh Parlemen Eropa yang menerbitkan resolusi bernada negatif terhadap kelapa sawit.
“Sawit bukan penyebab utama deforestasi. Kontribusi sawit untuk deforestasi global hanya 2,5%,” katanya.
Awang pun meyakini resolusi tersebut hanya kedok Uni Eropa untuk memproteksi bahan baku minyak nabati yang menjadi pesaing kelapa sawit. Pasalnya, produktivitas kelapa sawit bisa mencapai 10-20 kali kedelai maupun rapeseed sehingga lebih efisien.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Diplomasi Ekonomi Ridwan Hassan mengatakan penolakan pemerintah terhadap resolusi tidak lantas membuat Indonesia mengonversi hutan secara besar-besaran untuk menggarap kelapa sawit.
“Kita tidak bisa ekspansi lahan melebihi kemampuan. Tapi bisa meningkatkan produksi lewat optimalisasi,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono sependapat bila intensifikasi dapat menggenjot produktivitas kelapa sawit. Namun, dia menilai kesempatan ekstensifikasi lahan seharusnya tidak ditutup pemerintah asalkan areal nonproduktif masih tersedia.
“Bagaimanapun Indonesia harus mempertahankan posisi sebagai penguasa pasar kelapa sawit karena kebutuhan minyak nabati global masih sangat signifikan,” kata Wakil Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk ini.