Bisnis.com, JAKARTA - Banyaknya kapal memilih labuh jangkar di perairan sekitar Kepulauan Riau dikarenakan demi menghemat biaya operasional sebagai dampak sepinya order pengangkutan kapal, terutama kapal kargo.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Nasional Maritim Institute (Namarin) Siswanto Rusdi, kepada Bisnis, Minggu (12/3), menanggapi keterkejutan Menko Kemaritiman yang menemukan sekitar 30 kapal didapati melakukan labuh jangkar di perairan sekitar Pulau Tolop akhir pekan lalu.
"Sebenarnya cerita lama ada kapal yang lego jangkar tidak pada area seharusnya, dan ini dijadikan lahan penghasilan tambahan pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab. Tapi lego jangkar ini juga pertanda karena memang dunia pelayaran sedang lesu," jelasnya.
Siswanto yang memang orang asli Tanjung Pinang itu, dahulu sering mendapati hanya dalam jarak sekitar 300-400 meter dari rumahnya dipinggir pantai, ada kapal yang lego jangkar, padahal disitu bukan anchorage area.
Pada perairan Batam dan sekitarnya terdapat sekitar 7 anchorage area atau lokasi resmi yang dapat dimanfaatkan untuk labuh jangkar, yakni Pulau Nipah, Pulau Galang, Batu Ampar, Kabil, Tanjung Uncang, Karimun STS dan Sekupang.
"Mereka memilih lego jangkar karena dunia pelayaran sedang lesu. Banyak kapal general cargo yang kalau gerak itu ordernya port to port sepi order, nah kalau tidak ada order, mereka lego jangkar (labuh jangkar) di perairan sekitar itu dari pada berlabuh di dermaga," ujarnya.
Menurutnya pemilihan lokasi labuh jangkar yang juga dekat dengan Singapura tersebut, dikarenakan apabila ada order pengangkutan, maka mereka bisa langsung datang ke pelabuhan di Singapura itu dan tidak perlu jauh-jauh perjalanannya dari dermaga atau anchorag area.
Pasalnya, kata dia, langkah labuh jangkar itu dapat menekan biaya operasional kapal hingga 50% di bandingkan harus pergi jauh ke dermaga, apalagi saat situasi sepi order pengangkutan.
"Kalau labuh jangkar di situ bisa menekan setengah biaya operasional, formulanya berat kapal dikalikan rupiah/dollar dikalikan berapa hari. Tarif juga bervariasi," ujarnya.
Menurutnya solusi agar tidak banyak kapal yang melakukan labuh jangkar adalah tentu dengan harus banyak orderan pengangkutan. Namun demikian, yang menjadi dilema karena memang kondisi perekonomian dunia yang sedang lesu.
"Karena kapal bukan seperti mobil yang harus ada garasinya, karena idealnya kapal itu justru berlayar terus sepanjang tahun dan hanya berlabuh untuk docking saja. Kalau ini tidak terjadi, maka berarti bisnis perusahaan kapal itu sudah parah, tidak ada profit," ujarnya.
Menurutnya, Singapura sebagai hub pelayaran tersebut tentu kondisi kelesuan perekonomian dunia itu sangat berdampak bagi Singapura. "Ini yang harus kita waspadai bahwa pelayaran dimana mana sedang bergerak menuju akhir zaman," ujarnya.
Dia mencontohkan kasus bangkrutnya Hanjin Shipping, setahun terakhir, lalu tiga perusahaan pelayaran Jepang yang terpaksa melakukan merger untuk menutupi kekurangan order. Belum lagi terdapat beberapa pelayaran lainnya melakukan sharing pengangkutan agar tidak mati salah satu.
Menurutnya hal itu membuktikan kalau kondisi pelayaran sedang sekarat. Meskipun, kata dia, untuk kapal kontainer lebih bisa terukur mitigasinya, tidak separah cargo, tanker dan lainnya yang bergerak kalau ada order.
"Kontainer mitigasinya lebih mudah, misalkan ada kontrak sekian tahun, kalau kargo kan jika tidak ada yang diangkut ya tidak jalan, jadi mitigasinya bisa lebih rumit. Dan kapal yang lego jangkar itu pasti kapal kapal non kontainer," ujarnya.
Sementara itu, pada sisi lain Siswanto juga sependapat bahwa apabila kondisi labuh jangkar itu menjadikan rawan tindak kejahatan. Namun untuk narkoba dan aksi terorisme, menurutnya potensinya masih cukup kecil.
"Kapal yang sedang labuh jangkar menjadi rawan iya, karena bisa jadi sasaran perompak, karena saat kondisi itu, awak kapal juga dipastikan sedikit sehingga perompak lebih mudah melakukan aksinya," ujarnya.
Pasalnya, apabila lagi sepi order, dan jumlah awak kapal tidak dikurangi maka akan membebani biaya operasional perusahaan bersangkutan.
"Kalau terorisme, meskipun bisa juga terjadi, tapi kecil peluangnya, karena tidak sembarang orang bisa mengemudikan kapal besar untuk melakukan aksi teror itu, kalau speedboat barangkali masih bisa mudah dikemudikan," ujarnya.
Menurutnya kekhawatiran dimanfaatkan sebagai aksi kejahatan tersebut lebih karena Indonesia sebagai host country yang harus memberikan jaminan keamanan juga bagi kapal kapal mitra Singapura yang labuh jangkar di perairan Indonesia tersebut.
Pasalnya, untuk di Pulau Tolop dan Nipah, rata-rata kapal kapal klien Singapura. Maka, apabila dikhawatirkan ada aksi terorisme yang menavigasi kapal itu untuk ancaman peledakan, maka akan membahayakan bagi Singapura maupun Indonesia.
"Ini paling bisikan Singapura, dan Pak Luhut ingin memberikan jaminan keamanan kepada Singapura sebagai m klien Indonesia juga, karena labuh jangkarnya di perairan Indonesia. Sebagai host country kita perlu meyakinkan Singapura kalau kita bisa menjaga keamanan," terangnya.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya menegaskan akan segera menuntaskan permasalahan labuh jangkar di Pulau Tolop.
Hal itu dikatakannya usai mengalami keterkejutan saat menyaksikan kegiatan labuh jangkar dalam perjalannya menuju Pulau Tolop, salah satu pulau terluar di wilayah provinsi kepulauan Riau, Jumat (10/3).
"Ada kegiatan labuh jangkar di pulau Tolop yang saya saksikan dari helikopter, tadi ada sekitar 30 kapal (yang sedang labuh jangkar) di Belakangpadang. Saya tanya Gubernur, ia tidak mengetahui kegiatan ini. Menurut Gubernur pasti ada pungutannya, tapi tidak masuk ke Pemda," ujarnya.
Lantas, guna mencari solusi masalah tersebut, pekan depan dirinya akan membahas dengan beberapa pihak dan lembaga terkait seperti Kementerian Perhubungan, KKP, Pemda, Angkatan Laut, Bakamla, dan beberapa instansi lain.
Bahkan, pihaknya juga akan diskusikan persialan tersebut dengan IMO (Organisasi Maritim Internasional) untuk mencari bagaimana jalan keluarnya. "Tapi tentunya kita akan bicarakan dan berkoordinasi lebih dahulu," ujarnya.
Pasalnya dirinya meyakini kegiatan labuh jangkar itu rentan menjadi tempat penyelundupan narkoba bahkan terorisme.
Menurut Menko Luhut, idealnya tanggungjawab penjagaan pulau diserahkan kepada Angkatan Laut RI, dan selama ini memang terdapat sekitar 12 personel AL di sana.
"Harus ada langkah-langkat terpadu agar perbatasan kita aman. Fokus kita saat ini bagaimana menyelesaikan masalah Pulau Tolop dan menjaga Pulau Nipa," tegasnya.