Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia mengusulkan registrasi tambak udang secara nasional sebagai langkah awal untuk mengantisipasi program pengawasan impor seafood (SIMP) Amerika Serikat.
Ketua Umum AP5I Budhi Wibowo mengatakan SIMP sementara ini memang belum diterapkan pada udang --baru diterapkan pada ikan mulai 1 Januari-- tetapi industri yang berkaitan dengan komoditas itu harus bersiap.
"Tapi, kita enggak tahu kapan. Dalam program SIMP ini, traceability (ketertelusuran bahan baku) penting, harus. Soal registrasi tambak, kita masih belum melakukan secara nasional," katanya, Selasa (7/3/2017).
Seperti diketahui, National Oceanic and Atmospheric Administration Fisheries, institusi pemerintah AS yang menangani sumber daya perikanan, akhir 2016 merilis peraturan yang melarang impor produk seafood dari hasil penangkapan ikan secara ilegal, tidak memenuhi aspek keamanan pangan global, dan melanggar prinsip keberlanjutan. Untuk itu, ketertelusuran, mulai dari panen sampai di pintu masuk AS, harus ditegakkan.
AP5I mengusulkan registrasi yang ditunjukkan dengan single identification number itu menggunakan kode pos pada 5 digit awal ditambah beberapa digit lagi untuk detail petambak. Alasannya, kata Budhi, kode pos diakui secara internasional. Selain itu, nomor itu dapat digunakan untuk registrasi dalam bentuk kawasan.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, lahan tambak udang yaang masih produktif hingga 2014 seluas 374.000 hektare. Budhi menyebutkan hanya sebagian kecil tambak yang saat ini sudah terdaftar.
Dia menambahkan registrasi pada dasarnya adalah tahap awal sertifikasi tambak udang. Sertifikasi diperlukan untuk memenuhi aspek ketertelusuran yang dipersyaratkan pasar Negeri Paman Sam, negara tujuan ekspor udang terbesar Indonesia.
Apalagi, kata Budhi, rekomendasi Food and Drug Administration (FDA) AS merekomendasikan agar petambak mempunyai catatan tertulis, memastikan sanitasi secara periodik peralatan panen, dan sertifikasi.
Untuk itu, lanjut dia, konsep dokumen pencatatan di tambak yang sederhana, tetapi tetap memenuhi konsep traceability, perlu didesain.
"Tetapi sebelumnya, perlu disosialisasikan tentang food safety, traceability, dan sustainability kepada petambak-petambak kecil," ujar Budhi.
Konsep dokumen pencatatan yang sederhana juga diperlukan oleh suplier alias middleman. FDA merekomendasikan kehati-hatian karena dari suplier biasanya kontaminasi menyebar dari satu tambak ke tambak lain. Middleman perlu pelatihan masalah sanitasi dan penanganan pascapanen.
"Ini bukan permintaan kami sesungguhnya, melainkan permintaan pasar," kata Budhi.
Sertifikasi Indogap (Indonesia's Good Aquaculture Practices) juga perlu segera diluncurkan tanpa perlu menunggu dibentuknya lembaga sertifikasi independen. Budhi mengusulkan, untuk sementara, sertifkasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) yang sudah ada dinyatakan sebagai Indogap sehingga unit pengolahan ikan bisa segera mempromosikan Indogap ke dunia internasional atau buyer.