Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa pihak dari industri kerap mengklaim harga jual gas pipa dan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dalam negeri tak terjangkau. Begini komponen harganya.
Kepala Divisi Komersial Gas SKK Migas Sampe L Purba mengatakan sebenarnya harga LNG dalam negeri tergolong murah. Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga LNG di pasar spot internasional per MMBtu dari Indonesia sebesar US$4,64.
Harga tersebut lebih rendah dari Thailand yaitu US$5,7; Brazil yakni US$5,65; India US$5,57; Jepang dan Korea US$5,51; serta China US$5,36. Harga tersebut memang lebih tinggi daripada harga LNG di Malaysia yakni US$4, Kanada US$2,93 dan Amerika Serikat US$1,89.
Dia pun menilai impor LNG bukanlah solusi untuk memeroleh harga gas yang lebih rendah. Pasalnya, untuk menyentuh pengguna akhir LNG harus melalui proses pengiriman, regasifikasi dan penyaluran yang membutuhkan biaya tambahan. Oleh karena itu, dia menyebut impor LNG belum tentu memberikan jaminan bahwa konsumen akhir bisa mendapat harga gas yang lebih murah.
Menurutnya, harga gas pipa disusun atas beberapa komponen seperti biaya operasi dan investasi di hulu, bagian kontraktor, pajak, biaya transmisi dan distribusi. Sebagai gambaran, dia menyebut rata-rata harga jual gas pipa domestik di tingkat hulu dilepas seharga US$5,9 per juta british thermal unit (MMBtu) dengan rentang US$3,63 hingga US$8,24 per MMBtu.
Harga US$5,9 kemudian ditambah biaya penyaluran di tengah dan hilir total sekitar US$0,89 untuk transmisi dan US$1,5 untuk distribusi.
Sementara, untuk jenis LNG, ujar Sampe, harga gas di tingkat hulu ditambah komponen biaya pengiriman dan regasifikasi sebelum sampai di pipa transmisi. Pada komponen pengiriman diasumsikan sekitar US$0,6 dan regasifikasi dengan biaya sekitar US$1 hingga US$3 per MMBtu.
"Tidak serta merta impor LNG akan membuat harga turun di level end user," ujarnya dalam acara temu media di Jakarta, Kamis (16/2/2017).
Secara umum, dalam prinsip bisnis gas, setidaknya terdapat tiga komponen yang harus disepakati antara produsen dan konsumen yakni infrastruktur, pasokan dan harga. Sementara pada rantai pasok LNG, harus disepakati hal-hal seperti pasokan, permintaan, infrastruktur, harga dan regulasi.
Lagi pula, permintaan dari dalam negeri dianggap tak pasti. Sebagai contoh, dia menyebut pasokan gas untuk ketenagalistrikan. Kendati hampir 90% pasokan LNG dalam negeri diserap ketenagalistrikan, pasokannya tidak pasti karena gas hanya digunakan sebagai penanggung ketika beban menyentuh puncak atau peaker.
Sementara, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) masih memiliki pilihan lain terkait penggunaan tenaga listrik dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang masih bergantung pada tenaga batubara dan minyak.
"Akan sangat tergantung pada RUPTL di mana sumber energi ada empat tidak hanya LNG," katanya.
Terlebih, dari produksi LNG sebesar 278 kargo yang 163 kargo di antaranya berasal dari Kilang LNG Bontang dan 115 kargo dari Tangguh hingga saat ini masih terdapat kargo LNG yang belum terserap yakni sebanyak 28 kargo dari Kilang LNG Bontang, Kalimantan Timur dan 4 kargo dari Kilang LNG Tangguh, Papua.
Di sisi lain, proyek pengembangan gas seperti Lapangan Kasuri di Papua pun belum bisa diteken rencana pengembangannya karena belum mendapat pembeli. Padahal, rencananya lapangan tersebut ditarget menghasilkan gas sebesar 235 billion british thermal unit per day (BBTUD) pada 2019.
Berdasarkan data SKK Migas, terdapat gas dengan volume 534 BBTUD dari delapan wilayah kerja yang tak bisa dimanfaatkan karena belum adanya infrastruktur. Dari perjanjian jual beli gas (PJBG) eksisting pun hanya sebesar 1.151,06 BBTUD dari komitmen 1.552,33 BBTUD atau masih menyisakan 401,27 BBTUD gas.