Bisnis.com, JAKARTA--Pelaku usaha hulu minyak dan gas bumi terus mempelajari untuk merasa yakin penerapan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split memberi keekonomian yang lebih baik daripada yang ditawarkan dalam PSC cost recovery.
Analis Hulu Minyak dan Gas Bumi Wood Mackenzie, Johan Utama mengatakan pelaku usaha hulu memerlukan waktu untuk menimbang apakah terobosan pemerintah itu bisa menjadi suplemen.
Berdasarkan laporan Wood Mackenzie, penerapan gross split akan berdampak pada penurunan angka pengembalian modal (internal rate of return/IRR) dan penghitungan investasi mengacu pada nilai saat ini (net present value/NPV) serta naiknya bagian pemerintah.
Dengan demikian, kontraktor harus menekan biaya operasi yang nantinya tak lagi ditanggung pemerintah seperti halnya pada PSC cost recovery.
"Dalam jangka pendek, kami melihat investor akan menunggu," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (25/1/2017).
Di samping adanya potensi penurunan NPV dan IRR, dia menilai penerapan gross split akan membawa dampak positif terhadap kegiatan usaha hulu. Pasalnya, panjangnya proses birokrasi dan administrasi menjadi beban kontraktor bisa terpangkas.
Untuk menarik minat investasi, katanya, pemerintah harus secara cepat melakukan perubahan sistematis agar kontraktor mendapat jaminan kepastian usaha. Dia mengakui saat ini, Indonesia belum menjadi tempat investasi pilihan karena ketidakstabilan regulasi.
Menurutnya, beleid tentang penerapan gross split pun harus diharmoniskan dengan peraturan lainnya di kementerian lain juga Revisi Undang Undang Migas No.22/2001. Di Indonesia, harmonisasi regulasi, katanya, yang kerap membutuhkan waktu lama.
"Regulasi PSC gross split hanya mengatur tentang syarat fiskal dan masih ada ratusan regulasi lain yang berkaitan dengan sektor hulu migas di bawah ESDM, SKK Migas tapi banyak juga regulasi di bawah institusi pemerintahan lainnya," katanya.
Mengacu pada Peraturan Menteri No.8/2017, pemerintah menetapkan bagi hasil dasar yakni pemerintah:kontraktor mendapatkan 57:43 untuk pengembangan minyak dan 52:48 untuk gas. Split tersebut, bisa berubah dengan pertimbangan variabel tertentu seperti karakter hidrokarbon, kandungan gas karbondioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S), lokasi hingga ketersediaan infrastruktur yang mempengaruhi keekonomian lapangan.
Adapun, terdapat komponen dinamis seperti kumulatif produksi dan harga minyak yang berpengaruh terhadap bagi hasil. Untuk lapangan tertentu dengan IRR di bawah 12%, pemerintah akan memberikan bagiannya hingga 5% agar lapangan tersebut bisa dikembangkan.
Terpisah, Komisaris PT Medco Energi Internasional, Tbk, Budi Basuki mengatakan pihaknya masih belum yakin bila penerapan PSC gross split bisa menyelesaikan seluruh permasalahan di industri hulu migas. Masalah perizinan, katanya, masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang belum terselesaikan.
"Saya enggak yakin gross split menyelesaikan semua masalah," katanya dalam acara Roadmap Energy di Jakarta.
Dari laporan Fraser Institute tentang Global Petroleum Survey yang diterbitkan pada Desember 2016, Indonesia yang memiliki cadangan 23,01 miliar barel setara minyak (billion barrel oil equivalent/bboe) berada di urutan 79 dengan skor 45,83 dalam hal indeks persepsi kebijakan. Indeks persepsi kebijakan (policy perception index) dibentuk dari 16 hal seperti syarat-syarat fiskal (fiscal terms), sistem perpajakan, aturan lingkungan hidup, penegakan hukum, biaya untuk kepatuhan regulasi, area yang dilindungi, hambatan perdagangan, regulasi ketenagakerjaan, kualitas infrastruktur, kualitas basis data geologi, ketersediaan tenaga kerja dan kemampuan, pembebasan lahan, kestabilan politik, keamanan, tumpang tindih dan inkonsistensi regulasi dan sistem hukum.
Menurut investor catatan merah Indonesia yakni masih terdapat persepsi negatif terkait regulasi yang tumpang tindih dan inkonsisten, pembebasan lahan dan hambatan perdagangan. Sementara, investor menilai secara politik, Indonesia cukup stabil dan tak menghalangi minat berinvestasi.
Investor menganggap terdapat beberapa hal yang mengurangi minat investasi bahkan membuat investor enggan menanamkan modal di Indonesia seperti kewajiban menggunakan mata uang rupiah dalam melakukan transaksi di dalam negeri, pembatasan tenaga kerja asing, penerapan pajak bumi dan bangunan (PBB) pada wilayah kerja lepas pantai dan investor mendapat tekanan untuk menggunakan tenaga kerja yang tak sesuai kualifikasi dan barang yang tak sesuai spesifikasi yang umumnya berasal dari China bukan dari Indonesia.
Urutan Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain di Asia Tenggara yang memiliki cadangan lebih kecil seperti Malaysia (19,51 bboe) di urutan 41,Thailand (2,03 bboe) di urutan 42 dan Vietnam (9,02 bboe) pada jajaran ke-38. Sebagai pembanding, Thailand dengan indeks 67,01 dianggap lebih unggul karena pemerintah tak mewajibkan investor untuk mengutamakan penggunaan tenaga kerja juga seluruh material dan peralatan lokal. Kendati demikian, investor akhirnya menggunakan tenaga kerja dan produk lokal karena lebih menarik secara ekonomi bukan karena tuntutan regulasi.