Bisnis.com, JAKARTA - Penerapan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split diklaim bisa membuat lapangan minyak dan gas bumi memulai produksi dua tahun lebih cepat.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengatakan saat ini kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) membutuhkan waktu yang panjang dari mulai pencarian sumber migas hingga produksi.
Pasalnya, waktu yang seharusnya lebih singkat telah habis karena proses persetujuan kegiatan dan biaya di tubuh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) karena menggunakan PSC cost recovery.
Harapan ambisiusnya, katanya, waktu yang dibutuhkan lapangan sejak ditemukan cadangan hingga menghasilkan migas pertamanya bisa terwujud dalam kurun waktu lima tahun seperti yang terjadi pada era 70-an. Namun, realistinya, dia menyebut penghematan waktu baru sebatas dua tahun.
"Paling tidak, kita bisa hemat dua tahun tapi kalau hemat 10 tahun mungkin belum," ujarnya di Jakarta, Jumat (20/1/2017).
WoodMackenzie menyebut rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk sebuah lapangan menghasilkan minyak atau gas yakni lebih dari 15 tahun. Secara umum, di Asia Tenggara membutuhkan 12 sampai 13 tahun. Sementara itu, secara global waktunya justru lebih singkat lagi yakni berkisar tujuh sampai delapan tahun.
Sebelumnya, Direktur IPA Ronald Gunawan mengatakan sejak 1970-an, waktu yang dihabiskan untuk berinvestasi di hulu migas cenderung lebih panjang.
Pada 1970-an, katanya, hanya dibutuhkan waktu selama lima tahun dari waktu eksplorasi hingga lapangan menghasilkan minyak dan gas. Di samping itu, panjangnya waktu tidak diimbangi dengan masa kontrak kerja sama.
Masa kontrak kerja sama, katanya, hanya ditetapkan 30 tahun. Alhasil, waktu untuk memonetisasi lebih terbatas. Terlebih, perpanjangan kontrak pun harus menanti hingga dua tahun untuk mendapat persetujuan dari pemerintah. "Time to production bukan menurun justru bertambah."