Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menegaskan skema pengolahan migas dengan kontrak bagi hasil "gross split", yang aturannya resmi diterbitkan Rabu (18/1/2017), tidak akan menghilangkan kendali negara sebagaimana dikhawatirkan berbagai pihak.
"Soal kedaulatan negara, penentuan wilayah kerja ada di tangan negara," kata Arcandra dalam pidato pembukaan seminar mengenai skema "gross split" di Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Penentuan kapasitas produksi dan lifting, lanjut dia, juga ditentukan negara serta aspek komersil migas. Sementara itu, pembagian hasil juga ditentukan negara di mana bagi hasil untuk minyak yang didapat pemerintah adalah 57 persen dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sebesar 43 persen. Sedangkan bagi hasil gas untuk pemerintah 52 persen dan KKKS 48%.
"Dengan demikian, penerimaan negara menjadi lebih pasti," katanya. Terlebih, produksi juga dibagi di titik serah.
Arcandra menambahkan, penerapan skema baru tersebut tidak akan mengganggu penerimaan negara lantaran bagi hasil dilakukan di atas di mana biaya produksi ditanggung sepenuhnya oleh KKKS.
"Kita baginya di atas, 'cost' mereka yang tanggung. Mau seribu, seratus itu enggak ada hubungannya dengan APBN. Jadi kami mau production split di awal sehingga negara tidak rugi," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM resmi mengganti rezim kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) dengan skema penggantian biaya operasi migas (cost recovery) dengan skema "gross split" melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2016 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Skema tersebut akan menghitung pembagian hasil berdasarkan hasil produksi bruto (gross) migas.
Ada tiga jenis skema yang diaplikasikan, yakni base split (bagi hasil dasar), variabel split, dan progresif split. Base split adalah pembagian dasar dari bentuk kerja sama, sedangkan variabel split dan progresif split adalah faktor-faktor penambah atau pengurang base split.
Besaran bagi hasil dasar diperoleh dari kalibrasi terhadap 10 Wilayah Kerja (WK) migas yang bisa dianggap mewakili sistem PSC di Indonesia yang rata-rata sebesar 40 persen hingga 70% menjadi bagian pemerintah.
Misalnya, pemerintah menetapkan base split sebesar 70 persen dari produksi minyak untuk negara dan sebanyak 30 persen untuk kontraktor. Pihak negara akan menerima sebesar 70% dan bagian kontraktor 30 persen. Hasil tersebut kemudian akan ditambah atau dikurangi oleh variabel split dan progresif split.
Variabel yang dapat menambahkan split (bagi hasil) untuk kontraktor contohnya adalah kondisi lapangan, spesifikasi produk, dan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang digunakan kontraktor.
Selanjutnya, kalau variabel lain adalah TKDN, makin banyak produk dalam negeri yang digunakan kontraktor dalam kegiatan eksplorasi serta produksi migas akan semakin tinggi juga tambahan split yang diperoleh.
Dengan gross split, katanya, setiap kontrak dan daerah bisa berbeda persenan pembagian, tergantung pada luas lahan, sisa potensi migas dan variable lainnya yang masih diperhitungkan oleh pemerintah.
Gross Split, Kedaulatan Ada di Tangan Negara
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menegaskan skema pengolahan migas dengan kontrak bagi hasil gross split, yang aturannya resmi diterbitkan Rabu (18/1/2017), tidak akan menghilangkan kendali negara sebagaimana dikhawatirkan berbagai pihak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
29 menit yang lalu