Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah kembali mengulur tenggat penandatanganan kontrak East Natuna karena beberapa syarat-syarat fiskal dianggap belum menguntungkan pemerintah.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengatakan, pihaknya menginginkan agar pada 14 November 2016, kontrak bagi produksi (production sharing contract/PSC) East Natuna bisa ditandatangani.
Namun, masih terdapat beberapa hal dalam klausul kontrak yang masih belum disepakati sejak target ditetapkan September juga November.
"Kami menginginkan penandatanganan kontrak sudah tiga minggu lalu atau 14 November 2016. Tapi, ada beberapa term yang kami rasa tidak menguntungkan, maka kami tunda sedikit," ujarnya saat menghadiri acara Forum Bisnis Ikatan Alumni Teknik Minyak Indonesia (IATMI) di Jakarta, Selasa (6/12/2017).
Menurutnya, pembahasan mengenai skema bagi hasil menjadi poin yang sulit disepakati. Padahal, sebelumnya pemerintah telah menyusun sejumlah klausul agar kontrak kerja sama bisa ditandatangani.
Hal ini karena, Presiden Joko Widodo menginginkan agar terdapat kegiatan di wilayah Natuna Selatan untuk menguatkan aspek pertahanan di samping potensi migasnya yang besar namun tak kunjung terjamah.
"Salah satunya adalah masalah split. Fiskalnya sedang dibicarakan. Kalau kami bikin target baru lagi, Insya Allah awal tahun 2017."
Sebelumnya, pemerintah menargetkan pada September PSC bisa ditandatangani dengan model PSC khusus. Tujuannya, agar bisa segera dilakukan kegiatan di Natuna Timur.
Pemerintah pun telah menyusun draf kontrak yang diharapkan bisa membuat skala ekonomi proyek terjaga. Pemerintah menawarkan split sebesar 60:40, yakni 60% bagi pemerintah dan 40% bagi kontraktor khusus pengelolaan minyak.
Sementara, untuk pengembangan gas, Pemerintah menawarkan split sebesar 55:45, yakni 55% untuk pemerintah dan 45% untuk kontraktor. Sejak ditemukan cadangan pada tahun 1970-an, opsi split negara 0% pernah diajukan. Artinya, hasil produksi dikuasai kontraktor dan pemerintah hanya dapat mengutip pajak yang timbul atas kegiatan tersebut karena faktor kesulitan pengembangan.
Pada 1995, kontrak bagi produksi atas Natuna D-Alpha ditandatangani oleh konsorsium yang terdiri dari Pertamina dan ExxonMobil. Namun, hingga kontraknya berakhir pada 2005 dan penandatanganan kontrak baru dilakukan di 2011, aktivitas masih belum terlihat di sekitar Laut China Selatan itu.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, Blok East Natuna menyimpan potensi sebesar 222 trilion cubic feet (Tcf) dengan hanya 46 Tcf gas di antaranya yang bisa diproduksi. Pasalnya, 72% komposisinya adalah karbondioksida. Dengan demikian, diperlukan teknologi pemisahan juga injeksi karbondioksida yang bisa memproduksi secara efisien.
Di samping itu, terdapat struktur minyak yang diharapkan bisa dimulai terlebih dahulu kegiatannya. Adapun, konsorsium kontraktor terdiri dari ExxonMobil, PTT EP Thailand dan PT Pertamina (Persero) sebagai pimpinan konsorsium. Senior Vice President Upstream Business Development PT Pertamina (Persero) Denie S. Tampubolon mengatakan pihaknya akan mengikuti arahan Wakil Menteri Arcandra untuk menandatangani kontrak.
"Kan Pak Candra maunya Mid Januari (ditandatangani) kan. Jadi akan kami bicarakan supaya Mid Januari selesai."