Bisnis.com, JAKARTA - Data Kementerian Perindustrian menunjukkan industri makanan dan minuman nasional menunjukkan kinerja positif dengan tumbuh mencapai 9,82% atau senilai Rp192,69 triliun pada kuartal III/2016.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan industri makanan memang dituntut untuk menerapkan cara pengolahan dan sistem manajemen keamanan pangan yang baik mulai dari pemilihan bahan baku, pengolahan, pengemasan, serta distribusi dan perdagangannya.
“Sumbangan nilai ekspor produk makanan dan minuman termasuk minyak kelapa sawit pada Januari-September 2016 mencapai US$17,86 miliar. Capaian ini membuat neraca perdagangan masih positif bila dibandingkan dengan nilai impornya US$6,81 miliar,” ujarnya melalui siaran pers pada Kamis (1/12/2016).
Dilihat dari perkembangan realisasi investasi sektor industri makanan, sampai dengan kuartal III/2016 sebesar Rp24 triliun untuk PMDN dan PMA sebesar US$1,6 miliar.
Panggah mengingatkan dengan beratnya pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean, industri makanan dan minuman Indonesia harus siap dan mampu bersaing dengan produk-produk makanan dan minuman.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan tantangan ekspor pasar di luar Asean bukan berarti juga terlepas dari hambatan. Saat ini industri makanan dan minuman domestik masih terganjal dengan terkait keamanan pangan, standar, dan label.
“Tahun ini ada tiga negara yang mengubah labell yakni China, Kanada, dan Australia. Dengan mengubah label berarti mengubah semua, sehingga menyebabkan tidak bisa ekspor beberapa bulan,” ujarnya.
Adapun pasar di Asean saat ini masih terganjal dengan belum kunjungnya terjadi kesepakatan terhadap beberapa standar bagi produk mamin di Asean, seperti masalah batasan residu.
Untuk batasan residu, lanjutnya, terdapat tiga tingkatan yang masih belum disepakati. Tingkat pertama dengan standar tertinggi dimiliki oleh Singapura dan Malaysia. Kedua, Indonesia, Thailand, dan Filipina. Ketiga adalah negara CLMV, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.
Dia menambahkan setiap negara masih mempertahankan standarnya masing-masing, terlebih bagi negara dengan standar paling ketat. Hal ini disebabkan oleh kondisi setiap negara di Asean berbeda.