Pada 1998, SSDN pernah menguasai 35% kebutuhan nasional. Angka ini terus turun menjadi 22% pada 2008 dan tinggal 18% tahun ini.
Jika keadaan ini terus berlanjut, maka swasembada susu 40% yang dicanangkan oleh pemerintah pada 2020 bisa tidak tercapai.
"Masih ada solusi, yaitu melalui praktik peternakan yang baik serta regulasi yang berpihak dan melindungi para peternak sapi perah," kata Ketua APSPI Agus Warsito dalam siaran pers, Kamis (24/11/2016).
Dua langkah itu harus diikuti dengan kebijakan wajib serap.
Saat ini, dari 95 importir susu bubuk dan 51 pabrikan susu yang ada, hanya 8 pabrikan susu yang menyerap susu segar dari peternakan rakyat. Sebanyak 43 pabrikan lainnya masih menggunakan 100% susu bubuk impor.
Sentosa, perwakilan dari Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jawa Tengah, sekaligus Ketua KUD Mojosongo, Kabupaten Boyolali, mengungkapkan saat ini KUD dan peternak tidak punya posisi tawar sama sekali.
"Akibatnya, harga susu semakin rendah. Dengan adanya regulasi yang mewajibkan penyerapan konten lokal, dengan sendirinya akan memicu meningkatnya kualitas dan kuantitas susu segar dalam negeri,” ungkapnya.
Boyolali dikenal sebagai pusat peternakan sapi perah Jateng. Pada 1990, saat masih ada kewajiban penyerapan susu lokal bagi industri pengelola susu, produksi susu Boyolali bisa mencapai 120 ton per hari. Namun akhir-akhir ini, produksi hanya 62 ton per hari.
Harga susu dalam tiga tahun terakhir kian rendah dan tidak sebanding dengan biaya produksi yang terus meningkat. Saat ini harga susu di peternak berkisar Rp4.100-Rp4.300 per liter.
Bila harga mencapai Rp6.000 per liter, peternak sapi perah baru bisa menutup biaya produksi.