Bisnis.com, SEMARANG - Pemerintah pusat mengklaim serius menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS untuk menjadi rujukan yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah, terhadap rencana investasi.
Rencana investasi itu khususnya di bidang pertambangan di sekitar wilayah Pegunungan Kendeng, sebelum proses analisa mengenai dampak lingkungan (amdal).
Penyusunan kajian itu dilakukan seiring dengan banyaknya izin lingkungan kegiatan penambangan di wilayah Pegunungan Kendeng yang menuai penolakan dari masyarakat.
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyampaikan pihaknya sebagai koordinator penyusunan KLHS sudah meminta kepada tim pelaksana KLHS agar pengkajian yang dilakukan betul-betul objektif.
Pengkajian melibatkan banyak pihak, yakni pemerintah di lima kabupaten di Jawa Tengah seperti Blora, Grobogan, Rembang, Pati, dan Kudus. Adapun tiga kabupaten di Jawa Timur mencakup Lamongan, Bojonegoro, dan Tuban.
Dalam pembahasan itu, katanya, pihak yang terlibat dari jajaran Pemprov Jateng dan Jawa Timur, para pakar dari berbagai disiplin ilmu dan masyarakat.
Teten meminta pada tim pelaksana KLHS dalam melaukan kajian lingkungan hidup strategis harus objektif. Oleh karena itu, pihaknya melibatkan par ahli dari berbagai disiplin ilmu, melibatkan masyarakat, melakukan konsultasi terus dengan masyarakat, memetakan konflik-konflik sosial dan sebagainya.
“Saya kira itu kalau hasilnya objektif, keputusan KLHS ini bisa berlaku untuk jangka panjang,” tutur Teten dalam keterangannya, Rabu (16/11/2016).
Dia menjabarkan ada tiga aspek yang menjadi titik berat pemerintah dalam menyetujui investasi, yakni aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Aspek ekologi menjadi perhatian utama.
Jika dari aspek ekologi tidak memungkinkan, pemerintah akan menolaknya. “Yang harus jadi pegangan semua adalah aspek ekologi. Ini tidak boleh ada kompromi, karena ini juga harus berkelanjutan,” tandasnya.
Teten tidak memungkiri, sejumlah investasi di Indonesia kurang memerhatikan aspek ekologi. Contohnya investasi lahan sawit di Sumaera yang karena terbakar, kini biaya lingkungan hidupnya lebih besar dari pajak yang diterima negara.
Di samping itu, mengeluarkan biaya besar untuk mengembalikan kelestarian lingkungan, dampak lingkungan sosialnya juga tidak baik karena jutaan masyarakat di kawasan kebakaran lahan menderita infeksi saluran pernafasan akut (ispa) dan terganggu aktivitasnya.