Bisnis.com, JAKARTA – Beberapa asosiasi berbeda pendapat terkait upaya pemerintah dengan memangkas sejumlah peraturan daerah yang menghambat investasi serta memberantas pungutan liar yang dianggap belum tentu menjadi solusi bagi industri logistik.
Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi menyatakan pemangkasan peraturan daerah (perda) dan pungutan liar (pungli) akan memicu perkembangan logistik. Dia pun mendukung pemangkasan upaya tersebut selama mampu memberikan stimulus terhadap kemudahan berinvetasi.
“Perihal pungli ini tentunya harus didukung karena kita berharap tentunya daya saing kita ke depannya akan menjadi lebih baik, dan tidak lagi menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi,” tutur Yukki kepada Bisnis, Rabu (26/10/2016).
Dia menyebut, sektor transportasi dan logistik memang harus segera mendapatkan kemudahan akses untuk investasi. Menurutnya, kemudahakan investasi akan memudahkan proses proyek pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang pemerintah.
“Selain itu dengan kemudahan investasi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan akan menciptakan lapangan pekerjaan dalam situasi perlambatan ekonomi seperti sekarang ini,” jelas Yukki.
Berbeda dengan Yukki, Wakil Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menilai langkah-langkah pemerintah memperbaiki logistik dengan memberantas pungli dan memangkas perda sesungguhnya hanyalah langkah praktis pemerintah.
Namun, itu tidak menambah kapasitas dan kualitas jasa logistik. Dia tak sepakat bahwa langkah tersebut akan berpeluang besar menurunkan biaya logistik di Indonesia.
“Pemberantasan pungli itu seperti perintah hanya menurunkan beban biaya operasional saja. Adapun tax amnesty adalah upaya pemerintah menabung guna merealisasikan pembangunan infrastruktur agar tidak banyak utang,” jelas Mahendra.
Menurutnya, tingginya biaya logistik di Indonesia tidak bisa hanya diselesaikan melalui pemberantasan pungli dan pemangkasan perda. Dia mengusulkan agar pemerintah menyusun prioritas dalam pembangunan jalur logistik.
“Itu hanya stimulus agar beban biaya tinggi yang selama ini membelit industri bisa ditekan. Bayangkan saja, satu perusahaan per bulan harus menguras pungli antara Rp60 juta sampai Rp80 juta. Selama satu tahun alias 12 bulan perusahaan menggelontorkan Rp960 juta untuk pungli biayanya terlampau besar,” tegasnya.
Mahendra menilai banyak investasi yang ditawarkan pemerintah masih salah sasaran. Misalnya, pemerintah terlalu banyak membangun hanya infrastruktur di darat untuk jalan tol.
Akibatnya adalah kemacetan di jalur pintu tol Brebes Timur pada Lebaran 2016 lalu. Fenomena kemacetan yang akrab disebut Brexit dipandang Mahendra sebagai salah satu kesalahan pemerintah yang tidak memiliki prioritas untuk sektor logistik.
“Tol itu untuk penumpang, bukan barang. Mengapa tidak mengoptimalkan pembangunan sektor kelautan? Ini menunjukkan pemerintah tidak memprioritaskan sektor kelautan, padahal Sislognas [Sistem Logistik Nasional] mencatat untuk menurunkan biaya logistik harus melalui jalur laut. Alasannya, karena ongkos melalui laut lebih murah ketimbang di darat,” ungkap Mahendra.
Dia menceritakan pemerintah seharusnya bisa mencontoh kesuksesan Filipina menurunkan biaya logistik dengan mengoptimalisasi pengoperasian kapal roll on-roll off atau kapal RoRo. Adapun biaya pengoperasian didapatkan melalui subsidi dari pemerintah.
Senada dengan Mahendra, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri menegaskan pemerintah harus segera melakukan perbaikan sektor logistik dengan perbaikan pelabuhan sebagai upaya mengurangi beban angkutan darat.
“Angkutan darat yang berat-berat ini tidak bisa selalu memakai jalur darat, harus dipindahkan ke laut atau jalur kereta api. Logistik itu lebih hemat melalui angkutan laut,” tuturnya.
Dia menilai oknum pemerintah daerah sudah menjadikan pungli jembatan timbang sebagai pemasukkan kas daerah. Hal ini terlanjur membudaya dan memerlukan kinerja ekstra pemerintah dan kedisiplinan pelaku usaha untuk menuntaskannya.