Bisnis.com, JAKARTA - Produsen minyak dari Timur Tengah makin membuat pelaku industri petrokimia di Asean resah akibat harga mereka lebih kompetitif dibanding Asean.
Vice President Corporate Relations PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Suhat Miyarso mengatakan jika pasar Asean direbut oleh Timur Tengah terjadi, hal itu akan mengganggu bisnis perusahaan dan produsen lokal lainnya.
Saat ini impor produk petrokimia Timur Tengah telah dibebani oleh bea masuk sebesar 10%-15%. Kendati demikian, perbedaan harga Timur Tengah dan Asean masih lebih murah sekitar 10%.
“Harganya [Timur Tengah] masih lebih murah dibanding Asean. Mereka bisa menjual dengan harga serendah-rendahnya karena bahan bakunya dari gas dan pabriknya terintegrasi dengan kilang minyak sehingga biaya produksinya lebih rendah,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (3/10).
Kondisi itu diperparah dengan kelebihan kapasitas produk polimer, seperti polietilena dan polipropilena yang tengah terjadi akibat China mengurangi konsumsinya.
Data tahun lalu menunjukkan bahwa impor polimer dari Timur Tengah 100.000-200.000 ton. Adapun negara asal impor kebanyakan masih dari Asean, yaitu 65%, sisanya dari Timur Tengah sebesar 20% dan Asia lainnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan negara perlu hadir dalam investasi di industri petrokimia yang memerlukan dana besar dan waktu yang lama.
Dia berharap negara turut berperan dalam mengembangkan industri petrokimia hingga produk turnunannya seperti polietilena dan polipropilena yang total kebutuhannya mencapai 2,7 juta ton.
“Timur Tengah, India, Jepang, dan Korea Selatan masih terbatas dengan free trade agreement dengan Asean, tapi negara antar Asean sudah ada saling pengakuan. Nah, nanti kapan pun ini bisa bergeser karena Timur Tengah secara feedstock-nya lebih murah,” terangnya.