Bisnis.com, JAKARTA--Sejumlah pihak meminta pemerintah untuk tidak eksesif dalam menaikan tarif penerimaan cukai. Pasalnya, produksi industri rokok terus menurun dalam dua tahun terakhir.
Pemerintah bersama DPR saat ini sedang mengkaji target dan tarif kenaikan cukai tembakau. Penerimaan negara untuk APBN 2017 dianggap banyak bergantung pada penerimaan dari sektor tersebut.
Muhaimin Moeftie, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) meminta pemerintah untuk tidak eksesif dalam menaikan tarif penerimaan cukai rokok. Pasalnya, volume industri terus menurun sejak dua tahun lalu.
"Sampai Agustus tahun ini, volume produksi masih belum stabil dan bisa dibilang lebih kecil dibanding tahun lalu. Bila tarif penerimaan cukai tetap tinggi, bisa-bisa produksinya akan semakin anjlok.," tuturnya dalam siaran pers, Senin (26/9/2016).
Setali tiga uang dengan Moeftie, Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Suharjo menyoroti rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai Hasil Tembakau (PPN HT). Menurutnya, kenaikan seharusnya dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun, bukan secara bukan tiba-tiba menjadi 10%.
Seperti yang telah disepakati sebelumnya antara Kementerian Keuangan dengan industri, kenaikan PPN HT dilakukan bertahap dari tahun ke tahun, mulai dari 8,7% menjadi 8,9% pada tahun 2017. Kemudian, tahun berikutnya naik menjadi 9,1% persen dan terus meningkat sampai 2019.
Rencana kenaikan yang tiba-tiba ini menurut Suharjo merupakan langkah panik pemerintah untuk menutupi kekurangan pemasukan. Namun, bila dipaksakan industri akan terkena imbasnya, mulai dari serapan tembakau yang berkurang, hingga produksi yang menurun. "Efek domino dari kenaikan ini akan memperparah kondisi industri," ujarnya.
Amir Uskara, Anggota Banggar DPR dari Fraksi PPP mengatakan, kenaikan cukai memang seharusnya tidak lebih dari inflasi karena akan berdampak pada industri. Saat ini, DPR sedang merumuskan tarif cukai dengan kenaikan maksimal 6%.
"Dalam kenaikan cukai ini pemerintah juga harus memikirkan kelangsungan industri, karena banyak unsur terkait yang harus dilindungi dalam industri ini. Jadi harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam penentuan tarif cukai. Jangan sampai melebihi daya beli masyarakat," katanya.
Menurut Amir pemerintah saat ini belum melakukan ekstensifikasi target cukai, sehingga lagi-lagi cukai tembakau yang dinaikan. Padahal, industri tembakau merupakan penyumbang terbesar kedua untuk pendapatan negara di bawah penerimaan pajak yang perlu dilindungi.
Anna Muawanah anggota DPR Komisi XI mengatakan, kenaikan target penerimaan tarif cukai untuk industri hasil tembakau (IHT) sekitar di atas 6% dianggap kurang tepat. Menurutnya, selain nilai itu akan lebih tinggi dari inflasi, pemerintah seharusnya mencari jalan keluar lain.
Ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah ketimbang menaikan penerimaan tarif cukai. Pertama, harus dilakukan intensifikasi, yakni menambah jumlah produksi dari industri rokok sehingga pembayaran cukai lebih banyak.
Kedua, pemerintah bisa melakukan ekstensifikasi, yakni penambahan objek cukai. "Dengan adanya penambahan objek cukai maka penerimaan akan lebih tinggi," jelasnya.