Bisnis.com, PEKANBARU--Mantan Menteri Kehutanan MS Kaban mengusulkan penanaman sawit bisa menjadi bagian dari pembangunan hutan tanaman untuk menekan kerusakan hutan.
Menurutnya, secara prinsip, sawit sama dengan kayu jati atau karet yang masuk kategori tanaman hutan. Bahkan, pada masa pemerintah Suharto, selain budidaya, sawit merupakan tanaman konservasi.
Di kawasan Indragiri Hulu dan indragiri hilir, Riau saat itu, merupakan kawasan hutan terdegradasi sehingga ditanami kelapa sawit. “Jadi sawit mempunyai peran konservasi disamping budidaya.” Kata Kaban, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kaban menambahkan ekspansi sawit untuk budidaya masih terbuka untuk dikembangkan. Hanya saja, perlu peran aktif pemerintah untuk membenahi tata ruang agar pemanfataan kawasan tidak tumpang tindih. Dibandingkan China, Indonesia sebenarnya sangat tertinggal dalam pemanfataan hutan tanaman. Saat ini China mempunyai 20 juta hektare hutan tanaman yang terus dikembangkan.
Kaban juga mengingatkan, pemerintah tidak terlena dan membiarkan konflik yang mengatasnamakan lingkungan terjadi. Untuk kepentingan bangsa, semua pihak termasuk LSM perlu diingatkan untuk bersikap win-win solution dan tidak memaksakan kehendak.
“Pemerintah jangan terlena dengan bahasa-bahasa memojokkan yang sebenarnya bisa diatasi. Apapun itu harus disadari bahwa semuanya itu dalam koridor persaingan dagang,“ kata Kaban.
Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor Dr Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan, Indonesia perlu melakukan diplomasi global agar sawit bisa masuk kategori tanaman hutan sesuai definisi organisasi dunia Food and Agriculture Organization (FAO).
“Jika sawit masuk kategori tanaman hutan, tekanan sawit sebagai penyebab deforestasi akan berkurang. Sebaliknya, ekspansi sawit justru dianggap sebagai penambahan luasan tutupan kawasan hutan,” kata Dodiek.
Menurut Dodiek, diplomasi dilakukan China sehingga bambu masuk dalam definisi tanaman hutan FAO 2010.Diplomasi juga dilakukan sejumlah negara Eropa yang mampu menempatkan pohon cemara sebagai tanaman hutan.
Sebenarnya, family kelapa juga termasuk dalam tanaman hutan dalam definisi FAO 2010. Hanya saja, sawit dikeluarkan dari kategori tanaman hutan . ”Saya kira hal ini juga karena diplomasi. Jika sawit dapat tumbuh di Eropa, mungkin kita tidak perlu sibuk melakukan diplomasi.”
Dodiek mengingatkan, untuk diplomasi itu, perlu kerjasama dan kesepahaman dari semua stakeholder di Indonesia. “Diplomasi ini seharusnya bisa dilakukan Indonesia. Malaysia saja mampu mempunyai kesepahaman pendapat antara pemerintah, rakyat, korporasi dan LSM ketika mereka berbicara mengenai sawit dalam berbagai forum internasional,” kata Dodiek.
Menurut Dodiek, pemerintah juga perlu melakukan sejumlah kebijakan seperti mengintegrasikan kayu sawit yang berasal dari peremajaan (replanting) untuk memenuhi kebutuhan kayu industri. “Dengan luasan, 11,2 juta hektar kebun sawit, diperkirakan ada sekitar 55 juta meter kubik kayu sawit per tahun yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri kayu di Indonesia.”
Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga menambahkan, negara harus hadir membantu memerangi persaingan yang tidak sehat dalam perang industri minyak nabati. Selama ini, peran negara untuk meperjuangkan sawit Indonesia dalam diplomasi global sangat lemah, sehingga kesan dunia internasional bahwa penanaman sawit di Indonesia merusak lingkungan masih melekat.
Harus disadari bahwa ada pertarungan yang tidak sehat dalam persaingan minyak nabati dunia dengan mengatasnamanakan lingkungan.”Disinilah, pentingnya negara mempunyai peran untuk membantu. Apalagi sawit mapu menghidupi 5 juta tenaga kerja dan member kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi,” kata Viva Yoga