Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Blok Masela: Luhut Usulkan Pengembangan Hulu dan Hilir Terpisah

Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Pandjaitan menyarankan agar pengembangan hulu dan hilir Lapangan Abadi, Blok Masela dipisahkan agar bisa menekan investasi menjadi US$7 miliar dari US$22 miliar.
Profil Blok Masela. /Bisnis.com
Profil Blok Masela. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA--Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Pandjaitan menyarankan agar pengembangan hulu dan hilir Lapangan Abadi, Blok Masela dipisahkan agar bisa menekan investasi menjadi US$7 miliar dari US$22 miliar.

Menurutnya, masih terdapat biaya yang bisa dieliminasi seperti penggunaan komponen lokal. Adapun, dengan pemisahan kegiatan di hulu dan hilir, investasi hulu diperkirakan hanya sebesar US$7 miliar.

"Kami lihat Masela itu cost-nya bisa kurang lagi sekitar US$7 miliar karena kami bagi [kegiatannya] sekarang ini," ujarnya saat memberi sambutan dalam acara Zona Integritas Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman di Jakarta, Kamis (15/9/2016).

Luhut menuturkan Inpex Masela Limited sebagai operator Blok Masela fokus pada kegiatan produksi gas. Sementara, pembangunan kilang darat gas alam cair (onshore liquefied natural gas/OLNG) beserta pemanfaatan gas seperti pembangunan pabrik pupuk dan petrokimia dilakukan oleh Indonesia Incorporated--perusahaan Indonesia yang melakukan kegiatan di tingkat menengah dan hilir.

"Orang itu (Inpex) tinggal ngebor aja, yang processing itu biar Indonesia Incorporated. Kami sudah punya pabrik pupuk, petrochemical, semua kami lakukan," katanya.

Usulan tersebut, katanya, baru akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo. Dengan demikian, katanya, diharapkan gas yang dihasilkan bisa dioptimumkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan harga yang lebih terjangkau. "Makanya saya akan lapor [kepada] Presiden," katanya.

Berdasarkan catatan Bisnis, pengubahan skema pengembangan dari sebelumnya kilang terapung gas alam cair (floating liquefied natural gas/FLNG) berpengaruh terhadap penambahan belanja modal (capital expenditure/capex) kontraktor yang lebih besar dan risiko mundurnya masa pengerjaan proyek. Diperkirakan, lapangan baru memproduksi gas pertamanya pada 2026 atau dua tahun sebelum masa kontraknya berakhir pada 2028.

Penyusunan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan (terms and conditions) yang baru dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti masa kontrak yang diperpanjang lebih dari 20 tahun, rasio pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR) yang sama dengan skema pengembangan FLNG, pemberian insentif fiskal berupa investment credit, tax holiday juga penambahan kapasitas kilang dilakukan untuk menjaga skala ekonomi proyek.

Inpex merevisi proposal karena terdapat kemungkinan cadangan yang lebih besar yaitu sebesar 10,73 tcf. Hal itu menyebabkan kapasitas FLNG meningkat menjadi 7,5 juta ton per tahun dengan IRR 15% dan membutuhkan investasi sebesar US$14,8 miliar. Produksi gas juga naik menjadi 1.200 MMscfd dan kondensat 24.460 bph. Proposal tersebut ditolak dan ditetapkan agar dilakukan pembangunan kilang darat (onshore liquefied natural gas/OLNG).

Usul pemisahan kegiatan hulu dan hilir di Blok Masela bukan tanpa risiko. Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan pada pengembangan Blok Masela, Inpex dan Shell sebagai investor memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan hulu juga mengolah gasnya dengan membangun kilang.

Hal itu, berbeda dengan proyek Donggi-Senoro yang sengaja melibatkan investor lain untuk membangun kilang LNG. Pada proyek Donggi-Senoro LNG, operator Blok Senoro-Toili yakni Joint Operating Body Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi.

Sementara, investor pembangun kilang yakni Sulawesi LNG Development Ltd (59,9%) yang dimiliki oleh Mitsubishi Corporation 75% and Korea Gas Corporation (Kogas) 25%, PT Pertamina Hulu Energi (29%) dan PT Medco LNG Indonesia (11,1%).

Dengan demikian, pemerintah perlu mendapat respons terlebih dahulu dari investor terkait usulan tersebut. Pasalnya, perhitungan skala ekonomi proyek akan mengalami perubahan dan akan berdampak pada molornya pengerjaan proyek juga peluang investor tak lagi berminat mengembangkan blok tersebut.

Agung menyarankan pemerintah agar menetapkan tujuan secara makro terkait pengembangan Blok Masela. Biaya yang dikeluarkan, ujarnya, seharusnya dilihat sebagai investasi dan dihitung skema mana yang paling membawa penerimaan negara maupun efek berganda yang lebih besar.

Menurutnya, dengan pengembangan Blok Masela saat ini, pemerintah mendapat penerimaan negara lebih besar meskipun dari segi investasi juga lebih besar karena pemerintah mendapatkan manfaat di hulu juga hilir. Bila kegiatan hulu dan hilir dipisahkan, katanya, penerimaan negara hanya didapat dari kegiatan hingga kepala sumur saja.

"Biaya seharusnya dilihat sebagai investasi dan dilihat penerimaan negara dan multiplier effect-nya," katanya saat dihubungi Bisnis.com.

Dia menilai pemerintah lebih baik fokus pada manajemen secara makro terkait penerimaan negara dan multiplier effect. Pemerintah yang terlalu turut campur di urusan teknis, katanya, bisa menyurutkan minat investor. Masalah teknis, tutur Agung, lebih baik dilakukan investor secara bisnis ke bisnis (business to business/b-to-b).

"Indikator yang dipegang Pemerintah, penerimaan negara dan multiplier effect. Untuk masalah teknis, biarkan b-to-b saja," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper