Bisnis.com, JAKARTA – PT Inalum menyiapkan sekitar US$1,5 miliar untuk membangun dua fasilitas produksi, yaitu alumina refinery dan smelter alumunium. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas alumunium ingot menjadi 1 juta ton pada 2025.
Presiden Direktur PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) (Persero) Winardi Sunoto mengatakan saat ini perusahaan masih dalam fase studi kelayakan bersama PT Antam dan perusahaan China untuk membangun alumina refinery di Kalimantan Barat untuk menghasilkan alumina, bahan baku alumunium.
“Alumina refinery kapasitas 1 juta ton per tahun nilai investasinya sekitar US$700 juta. Smelter akan kami optimalkan dari yang ada menjadi 300.000. Smelter yang baru nilainya sekitar US$800 juta untuk menjadi 200.000 ton per tahun. Kami harapkan secepatnya bisa dimulai, mungkin awal tahun depan,” katanya, Kamis (15/9/2016).
Dia menargetkan proyek alumina refinery bisa selesai pada 2020. Menurutnya, lama waktu pembangunan alumina rifenery sekitar 30 bulan, sementara smelter alumunium sekitar 2 tahun.
Adapun 500.000 ton berikutnya, perusahaan akan menimbang nilai keekonomian yang paling ekonomis antara menambah smelter di Kalimantan Utara atau Kalimantan Barat.
Pembangunan smelter tersebut merupakan proyek mandiri, hanya saja akan ada transfer teknologi dari China atau Eropa. “Teknologi yang kami gunakan sekarang sudah lama, produktivitasnya relatif lebih rendah sehingga harapannya produktivitas lebih besar. Sedangkan untuk alumina rifenery kami akan gunakan teknologi terbaru di sana,” jelasnya.
Saat ini kapasitas produksi perusahaan mencapai 265.000 ton per tahun. Hingga Agustus, produksi alumunium sudah sekitar 170.000 ton atau melampaui target sampai 3%.
Dia mengatakan target produksi tahun ini agak turun dibanding tahun lalu, yaitu mencapai 247.000 ton akibat ada perbaikan satu dari delapan turbin yang dimiliki. Produksi alumunium tahun lalu mampu mencapai 257.000 ton.
“Walaupun harga relatif turun dari tahun lalu tapi dari sisi biaya kami akan kendalikan. Mudah-mudahan bottomline-nya sama dengan tahun lalu,” ujarnya.\
Terkait revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, dia mengaku perusahaannya tidak akan terpengaruh karena harga jualnya masih dipengaruhi oleh harga internasional.
“Yang berbeda biaya pengirimannya. Kami harap [pengiriman] dari Kalimantan harus lebih murah. Tapi dari harga komoditasnya sama saja. Inalum mau ekspor, mau dalam negeri sebenarnya sama,” jelasnya.
Dia juga tidak khawatir terhadap isu harga gas karena pabriknya sudah menggunakan pembangkit listrik tenaga air dengan kebutuhan listrik sekitar 470 megawatt, bahkan perusahaan menjual sekitar 90 megawatt untuk dijual ke PLN di Sumatera Utara.