Bisnis.com, JAKARTA – Polemik pencabutan jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mendorong Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB) meminta pemerintah memaparkan alasan pemilihan atau pencabutan Arcandra Tahar secara transparan.
Presiden KM-ITB, Muhammad Mahardhika Zein menyatakan bahwa tuntutan tersebut menyusul ketidakjelasan resmi alasan penurunan Arcandra Tahar. Menurutnya, polemik dwi kewarganegaraan Indonesia-Amerika Serikat bukan satu-satunya alasan Presiden Joko Widodo menurunkan Arcandra.
“Padahal jika ditelaah, untuk kasus ini sesuai dengan UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, seorang warga negara Indonesia yang sudah kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraannya lagi dengan melalui proses pewarganegaraan,” ujar Muhammad Mahardhika melalui siaran pers yang diterima Bisnis.com, Jumat (19/8/2016)
KM-ITB menilai bahwa sesungguhnya Presiden Jokowi memiliki opsi untuk melanjutkan jabatan Arcandra Tahar berdasarkan proses dan prosedur yang terdapat pada Undang-undang tersebut.
“Namun, pertanyaannya adalah kenapa dalam kasus ini, presiden yang terhormat lebih memilih opsi pemberhentian? Bukan mendesak, untuk mengurus proses pewarganegaraan,” kata Muhammad Mahardhika.
Jika jawaban Presiden Jokowi mencabut Arcandra untuk menghindari perdebatan dan desakan publik, menurut KM-ITB hal itu menandakan alasan reshuffle menteri Sudirman Said dengan Arcandra Tahar tidak memiliki alasan yang kuat untuk dilakukan.
‘Semakin lama pemerintah mengemukakan alasan utama beserta buktinya dalam penurunan menteri ESDM terakhir akan semakin berkembang opini publik yang beragam disertai tambahan
informasi lain yang tidak jelas asal muasalnya,” jelasnya lagi.
Justru sebaliknya, tindakan pemberhentian dengan alasan yang simpang siur seperti inilah yang dikhawatirkan akan menimbulkan pertanyaan dari masyarakat.
Oleh sebab itu, KM-ITB pun mendesak pemerintah untuk meninjau ulang dan mencabut kebijakan yang dikeluarkan oleh Arcandra Tahar selama dua puluh hari menjabat Menteri ESDM, terutama terkait izin perpanjangan ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia tepatnya pada tanggal 8 Agustus 2016 serta pengangkatan jabatan-jabatan di kementerian ESDM.
Sesuai dengan UU No.4/2009 tentang Mineral dan Batubara, konsentrat harus dimurnikan di dalam negeri sampai kadar tertentu untuk meningkatkan nilai tambah. Undang-undang ini membawa semangat hilirisasi melalui peningkatan nilai tambah pemurnian komoditas yang dicita-citakan dalam pengelolaan pertambangan.
“Walaupun di tataran undang-undang berkata demikian, Peraturan Menteri ESDM No. 5 tahun 2016 malah membahas tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan,” sambungnya.
Selain itu, KM-ITB mencatat Peraturan Menteri ESDM No.8/2015 membahas mengenai izin rekomendasi ekspor konsentrat dengan kadar dan jumlah tertentu di dalam peraturan peralihan.
Peraturan yang berada di bawah undang-undang ini menjadi peraturan yang menggiring keinginan perusahaan untuk mempercepat pembangunan smelter atau fasilitas pemurnian, namun dengan cara memberikan keringanan pelarangan ekspor melalui mekanisme rekomendasi surat izin.
KM-ITB memandang peraturan ini dipakai bersama-sama untuk melanggar perundangan di atasnya karena semangat hilirisasi yang diimpikan pada tataran kebijakan legislatif tidak mampu ditransfer ke dalam kebijakan eksekutif walaupun di sisi lain Peraturan Menteri ESDM ini juga suatu strategi mendorong pengadaan tempat pemurnian.
Pencopotan jabatan menteri ESDM terakhir memberikan gambaran telah terjadi pelanggaran atau ketidaksesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak diketahui secara jelas oleh publik dan tidak diinformasikan dengan baik oleh pemerintah.
KM-ITB menyimpulkan bahwa selama menjabat sebagai menteri, segala kebijakan, keputusan, dan sikap politik diambil dalam keadaan dimana menteri tersebut masih dinyatakan berkewarganegaraan ganda, bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UU No.39/2008 tentang Kementerian Negara.
“Sudah sewajarnya apabila kebijakan yang ada turut ditinjau ulang atau bahkan turut dibatalkan juga bersamaan dengan turunnya orang yang mengeluarkan kebijakan. Hal ini menjadi bentuk pertanggungjawaban orang yang bersangkutan karena masa jabatannya sebagai menteri
patut dianulir akibat persyaratan seorang menteri yang mewajibkan berkewarganegaraan,” jelasnya.
Sebelumnya, Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Maritim menyanggah isu tersebut. Luhut menyebut bahwa izin konsentrat tersebut tidak dikeluarkan oleh Arcandra melainkan oleh menteri sebelumnya yaitu Sudirman Said.
"Itu sudah dikeluarkan Pak Dirman (Sudirman Said), bukan Pak Candra (Arcandra Tahar). Ditandatangani oleh Dirjennya. Saya baru dapat laporan tadi," ujar Luhut di Kantor Kemenko Kemaritiman, Kamis (18/8/2016).
Sebagai informasi, pemberian izin ekspor konsentrat diberikan kepad Freeport Indonesia karena telah memulai proses pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur sejak 2015 lalu. Selain itu, perpanjangan izin ekspor konsentrat diberikan agar tidak terjadi penumpukan produksi.
Freeport pun telah berkomitmen membangun smelter dengan menyetorkan uang jaminan ke pemerintah senilai US$115 juta. Kementerian ESDM lantas memberikan rekomendasi perpanjangan izin ekspor kepada Freeport dengan syarata dikenakan bea keluar sebesar 5% dari nilai ekspor.