Bisnis.com, KUCHING – Pemerintah dinilai perlu mengawasi pergerakan perusahaan-perusahaan skala menengah dan pihak-pihak yang memanfaatkan belum rapinya tata kelola lahan pemerintah untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya.
Meski tidak tersorot oleh pemerintah secara langsung, pihak penengah atau yang biasa disebut cukong kerap menjadi aktor utama dalam aktivitas jual-beli lahan secara ilegal di daerah-daerah. Pihak ini pula yang memiliki paling banyak jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan.
Peneliti Centre for International Forestry Research (CIFOR) Herry Poernomo menyampaikan nilai ekonomi yang diperoleh dari proses penyiapan lahan dari membakar hutan sangat menggiurkan sehingga menjadi sasaran banyak kepentingan.
“Kalau kita lihat, total benefit yang didapat dari membakar hutan yaitu US$856 per hektare. Dari nilai ini, mengalir dana ke banyak orang seperti penebang pohon, pembakar, petani, pemilik lahan, perusahaan, hingga pejabat lokal,” kata Herry dalam paparannya di International Peat Congress ke-15 di Kuching, Malaysia, Kamis (19/8/2016).
Nilai itu setara dengan Rp11,3 juta per hektare. Survei yang dilakukan CIFOR juga menunjukkan setelah tiga tahun lahan tersebut ditanami komoditas kelapa sawit, nilai ekonomi yang didapat pun bisa berkali-kali lipat.
Data yang dihimpun CIFOR di lapangan menunjukkan setelah 3 tahun proses pembakaran lahan, nilai benefit dari komoditas kelapa sawit per hektare mencapai USS3.077 per hektare atau sekitar Rp40,4 juta. Sebagian besar dari benefit ini atau sekitar 51% mengalir ke pihak pengatur yang hingga sekarang sulit terdeteksi oleh para penegak hukum.
Herry menjelaskan pada praktik di lapangan, ada beberapa pihak yang perlu disasar secara intensif untuk dapat bertanggung jawab pada proses kebakaran hutan yang berlangsung selama ini.
Pertama, kebijakan perusahaan. Dia menuturkan perusahaan kerap melakukan land clearing dengan melakukan pembakaran lahan dan hutan. Perusahaan pun bisa bekerja sama dengan masyarakat yang terwujud dalam koperasi-koperasi. “Organisasi ini terkadang melakukan tugas dengan tidak benar,” katanya.
Untuk itu, pemerintah disarankan untuk mempercepat proses penyisiran lahan baik malalui skema moratorium maupun skema penegakan hukum bagi lahan-lahan telantar.
Berdasarkan data yang diterima CIFOR, saat ini 8 juta hektare dari total 11 juta hektare atau sekitar 73% lahan konsesi hutan tanaman industri (HTI), terindikasi berada dalam keadaan idle. Perusahaan pemilik konsesi belum kunjung memanfaatkan lahan itu meski izinnya sudah didapat bertahun-tahun lalu.
Kedua, yaitu cukong, yang bisa berasal dari kalangan manapun termasuk pejabat lokal, pemuda setempat, maupun kalangan partai politik yang bisa menguasai ribuan hektare lahan.
“Karena mereka menguasai lahan secara ilegal, maka akan sulit mengelola lahan secara benar mengingat kalau dikerjaan dengan benar, biaya yang dikeluarkan lebih mahal. Lahan ilegal ini serba tanggung, petani pun sulit megelola dengan baik,” kata Herry.
Profesor Manajemen Hutan Institur Pertanian Bogor (IPB) itu pun menerangkan cukong inilah yang memiliki paling banyak jejaring di lapangan, mulai dari petani, investor, oknum legislatif, penjual lahan, hingga dari pemerintahan.
Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan pemerintah perlu memberikan nilai ekonomi pada tanaman yang selama ini dibakar sehingga oknum enggan melakukan land clearing dengan cara tersebut.
Dai mencontohkan pohon-pohon kayu yang dibakar, bisa dijual dengan harga yang baik. Menurut informasi yang diperolehnya, tanaman kelapa sawit menghasilkan 50 juta meter kubik kayu setiap tahunnya.
“Andai kata dia untung, tidak akan ada yang membakarnya. Maka kemudian bagaimana pemerintah memberikan nilai pada batnag tanaman tersebut. Kalau membakar kan mudah dan murah. Dengan proses land clearing yang benar, pembakar minimal membutuhkan waktu 1 bulan,” jelas Dodik.