Bisnis.com, BANDUNG - Pemerintah daerah diminta tidak menaikkan nilai jual objek pajak atau NJOP tatkala menyepakati penurunan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan atau BPHTB, khususnya untuk lahan pembangunan rumah murah.
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Diah Indrajati mengingatkan pemerintah daerah (pemda) tidak dapat serta merta menaikkan NJOP ketika BPHTB-nya diminta diturunkan.
Dia menyebutkan sejumlah daerah keberatan BPHTB diturunkan karena itu sumber pendapatan daerahnya. Tetapi, sambungnya, terdapat juga daerah yang menyetujui penurunan BPHTB dengan disertai persyaratan ataupun kebijakan lain.
“[Meniru pernyataan pemda] ‘Kalau BPHTB diturunkan sampai 0%, tetapi konsekuensinya NJOP saya [pemda] naikkan’. Tidak bisa juga [pemda] menggunakan ancaman-ancaman seperti itu,” katanya kepada Bisnis di sela-sela acara Rapat Kerja Daerah Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Jawa Barat, Selasa (9/8/2016).
Diah menuturkan kementeriannya memahami penetapan NJOP kalapun perlu dinaikkan karena hal itu merupakan kewenangan pemda masing-masing dengan pertimbangan nilai jual lahan di suatu daerah semakin tinggi.
“Kalau memang nilai jual di situ terus naik dan di situ daerah strategis pengembangan, silakan saja [dinaikkan]. Tetapi terus jangan jadi latah,” sebutnya.
Menurut dia, perlu ada perubahan undang-undang terkait BPHTB. “Nanti kami bahas lagilah. Daerah perlu melakukan evaluasi. Undang-undang-nya belum diubah, maksimal 5% belum diubah, jadi UU nya harus diubah dulu.”
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy mengharapkan pemerintah daerah tidak terus menerus menaikkan NJOP tanpa menjaga tata ruang untuk area rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Ada tata ruang yang menjaga lahan ini untuk MBR, maka NJOP nya jangan dinaikkan. Rumah-rumah yang sudah dibangun oleh kami, yang sifatnya untuk MBR, itu NJOP-nya jangan dianikkan setiap tahun,” ujarnya.
Menurut dia, pengembang akan kesulitan membangun rumah murah jika NJOP terus mengalami kenaikkan karena harus juga menanggung beban operasional lain. Untuk itulah, sebutnya, pemerintah perlu hadir menetapkan regulasi selain memberikan subsidi.
“Dinaikkan setiap tahun mereka bayar pajaknya kan menjadi berat, akhirnya mereka kalau tidak tahan akan menjual dengan nilai yang juga naik. Jadi mereka beralih fungsi,” ucapnya.
Dia memandang adanya aturan rumah murah tidak bisa diperjualbelikan selama lima tahun saja tidak cukup. “Setelah lima tahun kan boleh. Jadi pemerintah daerah harus memberikan keringan bagi MBR dengan tidak menaikkan NJOP setiap tahun.”
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Maurin Sitorus menyatakan sejak diluncurkan rumah murah yang terbangun dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) telah mencapai 450.000 unit.
“Masalah perizinan memang berbagai daerah terjadi macam-macam, ada beberapa daerah yang sudah bagus [aturannya], ada yang belum bagus. Jadi masalah perizinan, sertifikasi, dan masalah tanah harus kita tangani,” sebutnya.
Dia menyampaikan pemda berkewajiban memberikan bantuan, termasuk di antaranya menyelesaikan persoalan perizinan, dalam mendukung pembangunan rumah murah dalam program Sejuta Rumah yang menjadi orientasi pemerintah kali ini.