Bisnis.com, JAKARTA—Pelonggaran proteksionisme perdagangan Indonesia dinilai sebagai salah satu pemicu meningkatnya impor Indonesia. Sayangnya, impor justru didominasi oleh impor nonproduktif.
Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan relaksasi proteksionisme membuat impor lebih mudah. Hal ini tercermin dalam performa ekspor-impor Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.
“Walaupun ekspor dan impor turun, tetapi impor turun lebih kecil dibandingkan dengan ekspor. Tetapi sayang impornya justru barang-barang konsumtif dan bukan produktif,” tuturnya kepada Bisnis, Jumat (24/6).
Seperti diketahui data teranyar yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor Indonesia sepanjang Januari-Mei 2016 tercatat terdepresiasi 12,82% menjadi US$56,59 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Di sisi lain, kendati sama-sama turun impor turun 11,61% menjadi US$53,89 miliar pada periode Januari-Mei 2015.
Dari segi struktur impor, kelompok barang konsumsi menjadi satu-satunya kelompok barang yang meningkat selama lima bulan pertama tahun ini, yakni meningkat 14,15% sedangkan kelompok bahan baku/penolong dan barang modal justru tergerus masing-masing 12,91% dan 16,68% secara year on year (yoy).
Sebelumnya, Bank Dunia menilai Indonesia sudah mulai merelaksasi kebijakan proteksionisme perdagangan yang sebelumnya diberlakukan, yakni melalui penghapusan sejumlah ketentuan yang berupa restriksi perdagangan.
Global Trade Alert, yang dikuti Bank Dunia dalam laporan ekonominya, mencatat selama tiga kuartal terakhir peringkat Indonesia sebagai negara dengan aturan paling restriktif menujukkan perbaikan. Pada kuartal II/2015 Indonesia masih menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan hambatan perdagangan terbesar sedangkan per kuartal I/2016 peringkat Indonesia turun menjadi negara ke-8.
Bank Dunia memandang selam empat kuartal terakhir rasio ketentuan bersifat restriktif menciut dibandingkan dengan ketentuan yang bersifat lebih liberal. Puncaknya terjadi pada kuartal I/2016 dimana ketentuan terkait perdagangan bebas tercatat tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan ketentuan restriktif.
Kendati hal ini dinilai baik bagi perekonomian Indonesia, Faisal memperingatkan dampak negatif yang mungkin muncul apabila relaksasi ini justru mendorong impor nonproduktif. Pada akhirnya, hal tersebut justru akan berpengaruh negatif pada neraca perdagangan Indonesia.
Di sisi lain, pelonggaran proteksionisme ini juga menuai kritik dari kalangan pelaku usaha. Sejumlah pengusaha justru mendorong penggunaan instrumen trade remedies seperti bea masuk antidumping dan safeguards untuk melindungi produsen dalam negeri. Pasalnya, bebasnya impor barang justru melukai industri dalam negeri.
Yang terbaru misalnya sektor baja, pengsaha di sektor ini mengaku kewalahan menghadapi banjirnya baja dari luar negeri, terutama China. Belakangan muncul dugaan China memasukkan produknya ke Indonesia dengan terlebih dulu memasukkan produknya ke negara di Asean yang terbebas dari bea masuk, seperti dari Vietnam.
Sebagai informasi, baja dari China dikenakan bea masuk antidumping oleh pemerintah Indonesia. “Kami minta pemerintah juga mengenakan bea masuk tambahan bagi baja Vietnam jika terbukti baja itu berasal dari Vietnam,” kata Ketua II Gabungan Perusahaan Importir Nasional Indonesia (Ginsi) Erwin Taufik.
Pelonggaran Proteksionisme Picu Impor Nonproduktif
Pelonggaran proteksionisme perdagangan Indonesia dinilai sebagai salah satu pemicu meningkatnya impor Indonesia. Sayangnya, impor justru didominasi oleh impor nonproduktif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Ardhanareswari AHP
Editor : Rustam Agus
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
38 menit yang lalu