Bisnis.com, JAKARTA - Komisi D DPRD DKI Jakarta melakukan inspeksi mendadak (Sidak) ke Green Pramuka City untuk mempertanyakan sedikitnya empat masalah di antaranya adalah Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan kebijakan sepihak perparkiran komersial.
Dua masalah utama lainnya adalah penetapan harga Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) sepihak, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Sidak dipimpin Rois Hadayani Syaugie, Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI dan Panji Virgianto, Sekretaris Komisi D DPRD DKI. Lima anggota Komisi D DPRD lainnya adalah Neneng Hasanah (Fraksi Demokrat), Nina Lubena (Fraksi PPP), Prabowo Soenirman (Fraksi Gerindra), dan Abdurrahman Suhaimi (FPKS) serta Pandapotan Sinaga (FPDI Perjuangan).
Dalam pertemuan tersebut, Rois mempertanyakan pihak pengembang yang tak memiliki SLF padahal merupakan kewajiban pelaku pembangunan dalam pembangunan rumah susun. "Mengapa SLF belum ada?" kata dia dalam pertemuan yang dihadiri pihak Badan Pengelola dan penghuni rumah susun tersebut, Jumat (3/6/2016).
Sebelumnya, persoalan SLF terungkap dalam Rapat Pembahasan bersama antara PPPSRS Green Pramuka dengan Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 19 Mei lalu.
Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan menyatakan pihaknya mengeluarkan SLF sementara yang hanya berlaku untuk 6 bulan pada November 2014, untuk Tower B dan C, bukan Tower sebelumnya yang telah beroperasi sejak 2012.
Rois juga menuturkan pengelolaan yang selama ini dilakukan oleh PT Mitra Investasi Perdana (MIP) patut diduga memiliki hubungan dengan pengembang Green Pramuka City, PT Duta Paramindo Sejahtera (DPS) dan menjadi perpanjangan tangan pengembang. Rois juga menyatakan PT MIP tak berpengalaman untuk mengelola apartemen di tempat lain, namun justru ditunjuk oleh PT DPS mengelola rumah susun tersebut.
Dia mempertanyakan apakah ada itikad baik para pengembang dan pengelola terkait dengan pelbagai persoalan di Green Pramuka City. Sejumlah masalah itu adalah soal tidak dilibatkannya penghuni dalam penetapan harga IPL, perparkiran komersial hingga pungutan PBB yang tak disetorkan ke kantor pajak.
Pandapotan Sinaga, dalam pertemuan itu juga mempertanyakan dasar penerapan IPL yang diberlakukan kepada para penghuni Green Pramuka. Dia mempertanyakan standar pengelolaan yang diterapkan di rumah susun tersebut.
"Perhitungan itu ada dasarnya. Apa dasar penerapan rupiah [IPL] itu?" kata Pandapotan. "Kami tidak percaya standar kalian."
Panji Virgianto mengungkapkan pengembang yang mencari untung dalam pengelolaannya tak dapat bertemu dengan keinginan para penghuni terkait dengan pelayanan yang diberikan di rumah susun tersebut. Oleh karena itu, sambungnya, harus ada solusi bersama untuk menuntaskan setidaknya pada sejumlah persoalan yang dibicarakan dalam Sidak tersebut.
Said Salahuddin, salah seorang penghuni Green Pramuka City, mempertanyakan legalitas para pengelola yang sebenarnya telah habis masa pengelolaannya atas rumah susun tersebut dan harus diserahkan ke Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (PPPSRS). Dia, menyitir UU Rumah Susun, menyatakan masa transisi pengelola hanyalah 1 tahun dan pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada warga.
"PPPSRS diakui dalam undang-undang, tanpa adanya pengakuan dari pengembang," kata Said.
Jawaban Pengelola
Suyatno Surorejo, Manajer Properti PT MIP, menyatakan pihaknya ditunjuk oleh pengembang untuk memberikan pelayanan kepada para penghuni. Dalam kesempatan itu, dirinya juga meminta maaf kepada warga apabila terdapat ketidaknyamanan dalam memberikan pelayanan.
Surorejo menuturkan pihaknya menerapkan pelbagai aturan itu berdasarkan aturan yang berlaku. Hal itu termasuk dalam pengelolaan parkir, yang sebelumnya, akan diterapkan secara komersial dengan membayar per jam oleh warga.