Bisnis.com, JAKARTA - Penyuntikkan gas karbondioksida ke perut bumi atau CO2 sequestration dengan kedalaman di atas 800 meter dianggap tepat untuk mengembangkan Blok East Natuna.
Presiden Direktur GE Oil and Gas Indonesia Iwan S. Chandra mengatakan masalah terbesar yang membuat pengembangan gas Blok East Natuna terhambat itu terkait pemilihan teknologi pemisah karbondioksida. Pasalnya, penggunaan teknologi akan sangat mempengaruhi keekonomian proyek.
Adapun, satu-satunya cara untuk memisahkan kandungan karbondioksida yang tinggi adalah menggunakan CO2 sequestration.
Gas karbon, katanya, tak mungkin dibuang begitu saja ke permukaan melainkan dihilangkan secara kimiawi dan disuntikkan kembali. Melalui cara ini, karbondioksida akan dikumpulkan dan disuntikkan ke dalam perut bumi.
Setelah itu, diperlukan tempat penampung gas karbon hasil injeksi yang besar. Hal ini karena, diperkirakan volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 trillion cubic feet (TCF), dan cadangan terbuktinya 46 TCF. Dari jumlah itu, 70% di antaranya merupakan gas karbon.
"Satu-satunya cara, kelihatannya CO2 sequestration tapi butuh reservoir di bawah permukaan," ujarnya dalam acara Media Briefing di Jakarta, Selasa (24/5/2016).
Komposisi gas karbon, ujar Iwan, memang menjadi tantangan pengembangan lapangan gas ke depan. Pihaknya pun memiliki turbin pembakar gas karbon yang efektif membakar gas sebesar 60%.
Namun, baik penggunaan turbin dan CO2 squestration belum cukup ekonomis untuk mengolah gas di Blok East Natuna.
Secara umum, pihaknya mengaku membidik peluang untuk terlibat dalam berbagai proyek eksplorasi dan produksi di dalam negeri. Mulai dari penyediaan teknologi produksi hingga penyediaan terminal mini gas alam cair (liquefied natural gas/LNG).
Meski demikian, baru Pertamina yang akan menggunakan teknologi Electric Submersible Pump (ESP) di salah satu wilayah kerjanya di Sumatera.
ESP yakni teknologi sensor yang ditempel pada mesin pompa angguk. Tujuannya, sensor akan memberi informasi kepada pompa untuk memperhatikan ketersediaan minyak.
Teknologi seperti ini, katanya, akan memberikan nilai tambah bila diterapkan di kisaran harga minyak US$40 hingga US$50 per barel. Penggunaan teknologi ini diklaim akan lebih murah dibanding mengebor sumur baru demi mempertahankan produksi.
"Saat ini belum dipakai di Indonesia," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Asia Pacific General Manager GE Oil&Gas , Visal Leng mengatakan kendati mengetahui cara untuk melakukan produksi secara efisien, pihaknya tak akan membentuk lini bisnis di sektor hulu migas sebagai kontraktor.
Pihaknya menyebut, teknologi dan inovasi merupakan kekuatan bisnis GE selama ini. Oleh karena itu, pihaknya fokus pada pengembangan bisnis yang ada.
"Kami tak akan menjadi operator migas karena kami tahu bahwa kekuatan kami dalam penyediaan teknologi dan inovasi," katanya.