Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pekerja menilai Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua bertentangan dengan filosofi program JHT itu sendiri sehingga harus direvisi.
Siaran pers BPJS Ketenagakerjaan, yang diterima di Jakarta, Rabu (18/5/2016), mengutip Ketum PP Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (SPSI) R Abdullah dalam "Dialog Nasional tentang JHT" dengan elemen SP/SB, Bekasi, mengusulkan diadakan tunjangan PHK agar pekerja tidak mencairkan JHT-nya.
"PP No.60 Tahun 2015 dan Permenaker No.19 Tahun 2015 tidak sesuai dengan filosofi JHT, dimana jaminan itu diberikan kepada peserta yang sudah memasuki masa tua. Oleh karenanya regulasi itu perlu direvisi," ucap Abdullah dalam diskusi yang diadakan di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, itu.
Dalam PP Np.60/2015 pasal (1), ayat (1), disebutkan, "Manfaat JHT wajib dibayarkan kepada Peserta apabila: a. Peserta mencapai usia pensiun." Permenaker No.19/2015, pasal (3), ayat (2), menyebutkan, "Manfaat JHT bagi peserta mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Peserta yang berhenti kerja.
Pasal (3), ayat 3, menyebutkan "Peserta yang berhenti bekerja sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) meliputi: b. Peserta terkena pemutusan hubungan kerja." Terjadi penambahan atau perluasan pemahaman tentang usia pensiun, yakni dari peserta (pekerja) yang memasuki usia pensiun sebagaimana umumnya, menjadi peserta yang terkena PHK.
Sementara itu, data BPJS Ketenagakerjaan yang dikutip media menyebutkan dalam empat bulan pertama tahun ini, total penarikan jaminan hari tua (JHT) mencapai 6,2 triliun dan diprediksi akan mencapai Rp22 triliun hingga akhir tahun 2016.
Untuk menjaga filosofi JHT, Abdullah mengusulkan agar pemerintah memberikan tunjangan tunjangan PHK. Tujuannya, pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja bisa memanfaatkan tunjangan tersebut tanpa harus mencairkan dana JHT-nya.
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, yang juga hadir di dialog tersebut menyatakan jika pengusaha dan pekerja melaksanakan kewajibannya sebagaimana amanat Pasal 155 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka kecil kemungkinan pekerja yang mengalami PHK mencairkan dana JHT.
Alasannya, pengusaha tetap membayar upah dan hak-hak pekerja sampai ada penetapan PHK. Timboel menilai penting syarat minimal masa kepesertaan untuk mencairkan manfaat JHT bagi peserta yang mengalami PHK.
Hal itu agar manfaat yang diterima peserta lebih besar karena BPJS Ketenagakerjaan akan memutar dana JHT dalam instrumen investasi yang memberikan imbal hasil di atas rata-rata bunga deposito BI.
Timboel mengusulkan agar pemerintah mengembalikan syarat masa kepesertaan minimal lima tahun bagi peserta yang mengalami PHK seperti program JHT ketika PT Jamsostek dahulu.
Mengingat UU SJSN dan UU BPJS tidak mengatur ketentuan itu maka pemerintah perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-Undang (Perppu) untuk mengadopsi pasal 15 UU No.3/1992 yang mengatur pencairan JHT. "Jika Perppu itu sudah diterbitkan maka pemerintah harus merevisi PP No.60/2015 dan Permenaker No.19/2015," kata Timboel.