Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Tak akan Turunkan Asumsi PDB 2016

Pemerintah bersikukuh tidak akan mengubah asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2016 sebesar 5,3% kendati laju kuartal pertama hanya mentok sebesar 4,92%.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. /Antara
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. /Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah bersikukuh tidak akan mengubah asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2016 sebesar 5,3% kendati laju kuartal pertama hanya mentok sebesar 4,92%.

Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan capaian kuartal I/2016 sudah jauh lebih bagus dari performa periode yang sama tahun lalu. Dengan demikian, asumsi 5,3% masih bisa dicapai dan tidak perlu direvisi dalam APBN Perubahan 2016.

“Enggak [direvisi]. [Pendorongnya] dari konsumsi, investasi, dan [belanja] pemerintah,” ujarnya ketika ditemui di kantornya, Selasa (10/5/2016).

Pelemahan pertumbuhan konsumsi swasta pada awal tahun, menurutnya, terjadi karena pengaruh pendapatan dan masih tertahannya belanja masyarakat. Namun, pihaknya meyakini kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) akan mampu meningkatkan pertumbuhan konsumsi swasta.

Seperti diketahui, mulai tahun pajak 2016, pemerintah kembali menaikkan batas PTKP dari baseline Rp36 juta menjadi Rp54 juta per tahun bagi WP OP. Bambang memperkirakan akan ada kenaikan laju produk domestik bruto (PDB) sekitar 0,16%.

Dari rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), saat perekonomian nasional kuartal I/2016 tumbuh 4,92%, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mentok di level 4,94%, melambat dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu 5,01%.

Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini berujar belanja pemerintah yang lebih besar akan menggerakkan perekonomian. Pengeluaran konsumsi pemerintah kuartal I/2016 hanya tumbuh 2,93%. Sementara, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh 5,57%.

Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara mengungkapkan percepatan belanja dari pemerintah akan turut menaikan confident masyarakat karena ada uang yang beredar di masyarakat.

“Jadi likuiditas enggak ditahan di kas pemerintah. Itu bisa memperbaiki likuiditas dan confident masyakat. Konsumsi [swasta] 4,9%-5% itu sudah normal,” katanya.

Kendati ada rencana revisi postur APBN 2016 yang mengakibatkan adanya pemangkasan belanja, Suahasil memastikan langkah tersebut dilakukan pada pagu belanja operasional dan diusahakan tidak menyentuh belanja modal,

Namun, pemerintah tetap akan realistis. Ketika ada belanja modal yang bukan prioritas dan tidak bisa dieksekusi tahun ini, pemerintah tetap akan mempertimbangkan efisiensi pos tersebut.

Seperti diketahui, dari total belanja tahun ini Rp2.095,7 triliun, ada sekitar 261,6 triliun yang tergolong belanja modal. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp60 triliun masuk kategori belanja barang yang memiliki karakteristik belanja modal.

Pihaknya menegaskan, pemerintah tidak akan mengganggu likuiditas sektor riil lewat penerbitan surat berharga negara (SBN). Potensi pelebaran defisit anggaran tidak akan melewati 2,5% terhadap PDB. Saat ini, defisit anggaran yang dipatok dalam APBN 2016 sebesar 2,15% terhadap PDB.

“Untuk kepentingan planning kami enggak mau di atas 2,5% [terhadap PDB] karena jaga daerah juga. Jadi engggak ada ketakutan pemerintah mau jual SBN sebanyak-banyaknya,” jelasnya.

Kredibilitas

Juniman, Kepala Ekonom PT Maybank Indonesia Tbk berpendapat asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3% sudah tidak realistis tahun ini setelah kuartal I tidak tembus 5%, meleset dari ekspektasi pasar.

Dia memperkirakan laju PDB Indonesia tahun ini hanya akan berada di kisaran 5%-5,2%. Angka 5,2% pun sudah paling optimistis dan harus disertai kerja keras dari pemerintah. Apalagi, tahun ini, investasi pemerintah dan swasta menjadi pos yang sangat ditunggu.

Oleh karena itu, pihaknya meminta agar pemerintah realistis dalam menyusun RAPBNP 2016. Pasalnya, jika meleset lagi, ada risiko fiskal yang mengintai, terutama dari penerimaan pajak.

“Lebih dari itu, kredibilitas dari budget sendiri yang dipertanyakan. Jika meleset terus, investor akan melihat pemerintah tidak kredibel dalam menyusun dan mengelola fiskal,” tegasnya.

Eric Alexander Sugandi, senior economic analyst Kenta Institute pun merevisi proyeksinya dari 5,3% menjadi 5%. Menurutnya, selain pertumbuhan konsumsi swasta yang harus dijaga setidaknya di level 4,9%, faktor investasi berpengaruh besar.

Sayangnya, lanjut dia, investor saat ini masih wait and see dengan kondisi domestik. Sementara, dari sisi global, walaupun sinyal kenaikan tipis harga komoditas diyakini tidak banyak membantu pengakselerasian PDB.

“Investor ini wait and see karena pertumbuhan demand dari konsumen cenderung lambat, walau BI Rate dan harga BBM sudah turun,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper