Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia Property Watch kembali ingatkan pemerintah terhadap pentingnya relaksasi kebijakan untuk menyelamatkan pasar perumahan nasional.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, pasar perumahan nasional belum juga menunjukkan pemulihan yang signifikan. Meskipun telah terjadi kenaikan pertumbuhan penjualan di triwulan IV/2015, ternyata tren ini tidak berlanjut di triwulan I/2016.
Pasar kembali anjlok -23,1% (qtq) bahkan masih lebih rendah -54,09% (yoy) dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya.
Hampir semua wilayah mengalami penurunan nilai penjualan dengan segmen menengah masih menguasai tingkat penjualan sebesar 52,19% dibandingkan dengan segmen besar 28,27% dan kecil 19,54%. Berbeda dengan komposisi segmen besar yang sempat mendominasi penjualan pada triwulan sebelumnya.
Penurunan BI Rate yang seharusnya dapat memberikan pengaruh bagi penurunan suku bunga KPR, belum berdampak meluas menyusul belum banyak bank yang menurunkan suku bunga KPR-nya.
Bahkan Bank BTN seharusnya dapat menjadi pelopor bagi penurunan suku bunga KPR ini sebagai ‘bank perumahan’ nasional, karena saat ini Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Bank BTN masih di 10,5%. Kondisi ini menyulitkan pasar perumahan untuk melanjutkan tren kenaikan penjualannya.
IPW menilai kebijakan LTV termasuk KPR Inden masih menyimpan beberapa hambatan yang sampai saat ini belum ditanggapi dengan baik oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia diminta untuk melonggarkan aturan tersebut yang ternyata sampai saat ini memukul potensi penjualan pasar perumahan.
“Bukan hanya segmen atas saja yang kena imbasnya, segmen menengah sampai bawah pun mengalami penundaan pembelian yang berdampak bagi penjualan perumahan menengah karena aturan LTV dan KPR Inden saat ini yang masih ketat,” ujarnya dalam publikasi IPW, Rabu (4/5/2016).
Ali mengatakan, beberapa usulan yang dikemukakan di awal tahun belum juga mendapat tanggapan positif dari Bank Indonesia terkait hal tersebut. Ali mengusulkan adanya penetapan aturan LTV yang lebih progresif, misalnya untuk segmen menengah bawah apalagi rumah FLPP, LTV dapat menjadi 100%, sehingga uang muka menjadi 0%.
Untuk segmen menengah, diusulkan LTV 90%, sehingga uang muka menjadi 10%. Untuk segmen atas, Ali menilai silakan diperketat, karena pada dasarnya yang terjadi aksi spekulasi besar-besaran ada di segmen atas, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa di segmen atas pula dapat memberikan dampak bagi pergerakan pasar perumahan pada umumnya.
Satu lagi hal dirasakan mengganggu cashflow para pengembang menengah sampai bawah adalah kebijakan KPR Inden yang mengharuskan pengembang menjual rumah yang sudah jadi.
Bank Indonesia diharapkan dapat menjadi stimulus dalam menggerakkan pasar perumahan. Tentunya relaksasi kebijakan ini bisa dibuat sementara sampai pasar telah pulih sepenuhnya.
“Dengan kondisi pasar perumahan saat ini, bukan waktunya untuk menekan sektor perumahan dengan aturan yang ketat. Pada saatnya nanti Bank Indonesia pun dapat kembali memperketat aturan ketika pasar sudah pulih,” jelas Ali.