Bisnis.com, JAKARTA - Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok memutuskan supaya penyedia dan pengguna jasa terkait untuk menghitung ulang penetapan tarif layanan pergudangan kargo impor berstatus less than container load (LCL) guna menghindari berlarutnya kisruh penetapan tarif layanan gudang di kawasan lini dua yang masuk wilayah pengawasan pabean pelabuhan itu.
Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, Bay M.Hasani mengatakan keputusan itu diambil setelah dilakukan pertemuan bersama yang di gagas kantor OP Tanjung Priok, Rabu (27/4/2016) karena tidak dicapainya titik temu penetapan tarif pelayanan pergudangan kargo impor LCL tersebut.
Pertemuan tersebut di ikuti manajemen Pelindo II, Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Gabungan Importir Nasional Indonesia (Ginsi), Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo) dan Asosiasi Perusahaan Depo dan Pergudangan Indonesia (Apdepi).
"Saya sudah meminta agar dikaji ulang tarif gudangnya dan dibahas kembali dengan yang terkait karena walaupun GINSI sudah menyepakati tetapi ALFI selaku kuasa pemilik barang dan yang ngurus kegiatan ini belum menyepakatinya," ujarnya kepada Bisnis, seusai pertemuan tersebut di pelabuhan Priok Jakarta.
Dia menegaskan, dalam masa proses mengkaji dan menghitung ulang tarif tersebut, OP Tanjung Priok berharap pihak terkait jangan dulu memberlakukan tarif penanganan barang eks peti kemas impor berstatus LCL di gudang sebesar Rp150.000/ton/m3 sebagaimana yang akan diterapkan oleh perusahaan pemilik gudang anggota Aptesindo mulai 1 Mei 2016.
"Jangan dulu terapkan yang yang Rp150.000 itu. Imbauan ini tidak ada batas waktunya, silahkan antara penyedia dan pengguna jasa yang membahas lagi supaya besaran tarifnya harus ada variablenya apa dan parameternya apa saja,"paparnya.
Kisruh tarif pelayanan pergudangan kargo impor LCL di Priok dipicu adanya surat edaran Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo) No:001/EDR/APTS-03/2016 tanggal 8 April 2016 yang ditandatangani Ketua Umum Aptesindo Reza Darmawan dan Sekjen Lowell Parhusip.
Edaran itu berlaku mulai penanganan barang eks peti kemas impor LCL sejak kedatangan kapal per 1 Mei 2016, yang akan dikenakan tarif pelayanan jasa gudang Rp150.000/ton/m3.
"Tetapi setelah adanya pertemuan hari ini semua pihak terkait sudah berkomitmen untuk tidak memberlakukan sebagaimana edaran itu, sebelum dilakukan pembahasan ulang dan dicapai kesepakatan antara penyedia dan pengguna jasa terkait," paparnya.
Bay mengatakan instansinya juga sudah berkordinasi dengan Manajemen Pelindo II dan Kantor KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok untuk mendorong tersedianya fasilitas pusat pelayanan kargo impor LCL atau container freigh station/CFS centre di kawasan pelabuhan Priok.
Dia mengatakan kargo impor berstatus LCL di Priok rata-rata mencapai 2.500 twenty foot equivalent units (TEUs). "Untuk menertibkan pelayanan kargo impor LCL itu dibutuhkan CFS centre agar memudahkan pengawasan oleh Bea dan Cukai karena barang impor ini belum selesai kewajiban pabeannya kepada negara. Selain itu tarifnya layanannya juga bisa berlaku single billing,"paparnya.
Ketua Gabungan Impotir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) DKI Jakarta, Subandi mengatakan, selama ini ada ketidaktransparanan dari mitra atau operator pergudangan di Priok karena menjual tarifnya ke pemilik barang lebih tinggi.
Sebaiknya,kata dia, Otoritas Pelabuhan menertibkan operator yang nakal dari pelayanan kargo impor LCL tersebut, dan dibuka transparan siapa yang menerapkan tarip LCL yg mahal di lini 2, dan kemana uang itu menguapnya.
"Bisa dihitung kok, berapa biaya per kubik cargo LCL yg harus dibayarkan penyewa gudang (Apdepi ) kepada pemilik gudang (Aptesindo).Dari situ keliatan berapa untungnya penyewa dan siapa yang membuat biaya logistik jadi mahal," paparnya.