Bisnis.com, MALANG - Proporsi pasokan susu dalam negeri dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi nasional diperkirakan terus merosot hingga hanya tersisa 10% pada lima tahun mendatang atau 2021 jika penanganan peternakan sapi perah seperti yang berlangsung saat ini.
Ketua Bidang Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan DPP Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia Emil B. Arifin mengatakan saat ini saja kontribusi susu dalam negeri dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi susu nasional hanya tersisa 20%. Sisanya dipenuhi dari ekspor.
“Sebelumnya, konstribusi susu segar dalam negeri masih 25%,” ujarnya di Rapat Koordinasi Gabungan Koperasi Seluruh Indonesia (GKSI) Jatim di Malang, Selasa (26/4/2016).
Data 2013, kebutuhan konsumsi susu nasional mencapai 4,2 juta ton. Dari angka itu, 3,360 ton dipenuhi dari impor, sedangkan sisanya, 787.000 ton dari dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Penurunan produksi terkait beragam permasalahan. Namun yang paling berdampak, karena adanya kebijakan pemerintah melarang impor sapi pedaging sehingga sapi perah banyak yang disembelih untuk dikonsumsi dagingnya.
Hal itu terjadi pada 2012. Pada 2011, populasi sapi merah mencapai 697.000 ekor dengan produksi susu sebanyak 977.000 ton, sedangkan pada 2011 menurun menjadi 611.000 ekor dengan produksi 960.000 ton.
Pada 2013, penurunan populasi sapi perah makin turun tajam menjadi 460.000 ekor dengan produksi susu sbeanyak 787.000 ton, dan 2014 terkait terjadi kenaikan tipis menjadi 801.000 ton dengan populasi sebanyak 483.000 ekor sapi perah.
Penurunan populasi sapi perah karena peternak lebih senang menjual sapinya untuk disembelih karena harganya tinggi. Di sisi lain, budi daya sapi tersebut kurang menguntungkan karena selain jumlahnya yang diternak tidak banyak, juga kesulitan memperoleh rumput, serta harga susu yang relatif rendah.
Peternak kesulitan mencari rumput karena lahan banyak yang berubah fungsi menjadi kawasan terbangun. Hal itu terjadi karena sentra-sentra populasi sapi perah biasanya di kawasan yang dingin sehingga cocok untuk pengembangan pariwisata.
Terlebih lagi, sentra populasi sapi ternak justru di Pulau Jawa, terutama Jawa Timur, yang dari sisi kepadatan penduduk sudah sangat padat. Di luar Pulau Jawa yang masih longgar justru kurang dimanfaatkan untuk pengembangan produksi susu sapi, seperti di Pulau Sumatera.
Padahal, kebutuhan susu terus meningkat bersamaan dengan pertambahan penduduk serta meningkatkan tingkat konsumsi karena peningkatan pendapatan mereka. Peningkatannya diperkirakan mencapai 7% per tahun.
Karena itulah, perlu adanya sinergitas antara kementerian dan stakeholders lainnya alam pengembangan susu. Contohnya, kebijakan terkait susu tidak bisa terlepas dari masalah daging. Keduahya tidak bisa dipisahkan sehingga peristiwa pada 2012 terulang kembali.
Selain itu peternak perlu didorong agar peternak dapat memenuhi persyaratan minimum skala ekonomis peternakan dan memanfaatkan good farming practices sehingga produksi bisa meningkat setidaknya mencapai 20 liter/sapi/hari, sedangkan saat ini di kisaran 10 liter/sapi/hari.
Untuk di Pulau Jawa perlu dipetakan benar-benar mana-mana kawasan yang khusus diperuntukkan pengembangan peternakan sapi perah sehingga pemanfaatan lahan menjadi lebih optimal.
“Sedangkan di luar Pulau Jawa, pemerintah perlu memberikan insentif bagi masyarakat agar senang beternak sapi perah dengan melatih SDM, serta mendorong industri pengolah sana berinvestasi di sana,” ujarnya.