Bisnis.com, JAKARTA – Realisasi belanja modal agregat provinsi, kabupaten, dan kota dalam APBD pada kuartal I/2016 hanya mencapai 0,58% dari pagu.
Boediarso Teguh Widodo, Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu memaparkan realisasi belanja modal pemerintah daerah hingga akhir Maret 2016 hanya Rp1,15 triliun atau 0,58% dari pagu Rp199,26 triliun.
“Realisasi belanja modal sampai dengan Maret 2016 sebesar 0,58%, belanja pegawai 12,66%, belanja barang dan jasa 2,03%, belanja lainnya 8,64%,” ujarnya kepada Bisnis.com seperti dikutip Senin (25/4/2016).
Dari data yang dihimpun DJPK per 20 April 2016 dengan jumlah daerah 436, total belanja keseluruhan APBD baru mencapai Rp52,48 triliun atau 6,12% dari pagu Rp856,79 triliun. Adapun, belanja pegawai masih menempati posisi terbanyak dengan realisasi Rp41,06 triliun atau 12,66% dari pagu Rp324,4 triliun. (lihat tabel)
Pihaknya tidak merinci lebih lanjut terkait permasalahan yang melatar belakangi masih minimnya performa belanja terutama belanja modal – belanja yang memberikan multiplier effect pada perekonomian –.
Namun, uniknya data yang ada berbeda dengan data yang disampaikan Kemendagri pekan lalu. Dari data yang ada di DJPK, realisasi terendah ada pada Provinsi Papua dengan persentase 2,07%. Persentase terbanyak dipegang Provinsi Kepulauan Riau sebesar 12,65%. Adapun, Provinsi DKI Jakarta baru 5,69%.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan beberapa hal masih menjadi kendala penyerapan yakni ketakutan atau kehati-hatian aparatur pemerintah daerah dalam membelanjakan APBD.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan penyerapan APBD yang tepat sasaran harus menjadi perhatian serius seiring dengan penguatan desentralisasi fiskal. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi tidak hanya bersumber dari stimulus fiskal pemerintah pusat, melainkan dari pemerintah daerah.
“Dengansemakin besarnya dana transfer, beban pemerintah pusat berkurang,. Di situlah harusnya daerah semakin cepat dan tepat menyerap APBD-nya,” katanya.
Dana besar ini harus bermanfaat bagi pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi. Bambang mengingatkan agar pemda melakukan efisiensi sehingga 60%-70% dana daerah habis untuk belanja pegawai.
"Jangan sampai daerah kekurangan infrastruktur padahal dana yang dikelola pemda besar," ujarnya.
Payung Hukum
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berpendapat permasalahan struktural manajemen program di daerah belum tersentuh jika ketakutan aparatur daerah dalam mengeksekusi anggaran belanja masih menjadi alasan.
Rendahnya realisasi rata-rata belanja APBD pada kuartal I/2016 dinilai sebagai salah satu bukti tidak mempannya surat edaran presiden yang disampaikan kepada seluruh kepala daerah sekitar September tahun lalu.
“Surat edaran itu hanya normatif. Harusnya ada pedoman bisnis proses yang jelas,” katanya.
Menurutnya, harus ada koordinasi – bisa lewat penandatanganan nota kesepahaman – yang jelas dari pihak Kemendagri, Kepolisian, Kejaksaan, dan aparat hukum lainnya. Pasalnya, jika pemerintah pusat meminta tiap pemerintah daerah untuk berkoordinasi sendiri, koordinasi tidak bisa berjalan mulus.
Selain itu, pemerintah harus benar-benar memanfaatkan momentum revisi Peraturan Pemerintah No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai upaya progresif menciptakan terobosan tata kelola anggaran yang baik, yang mencakup juga penguatan inspektorat daerah.
Seperti diketahui, tahun lalu, dalam surat edaran presiden, ada penegasan tiga hal, yakni pertama, pelanggaran yang bersifat administratif tidak bisa dipidanakan. Kedua, hal yang bersifat kebijakan tidak bisa dipidanakan;. Ketiga, apabila BPK, BPKP, melakukan pemeriksaan kepada daerah, Undang-Undang mengatur ada batas toleransi 60 hari. Apabila belum 60 hari, maka aparat penegak hukum tidak boleh masuk.
Dengan pijakan awal tahun yang kurang maksimal, pola penyerapan anggaran daerah diyakini tidak akan jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, beberapa daerah yang selama ini melakukan percepatan lelang dan pengerjaan proyek, lanjutnya, hanya bagian dari carry over proyek tahun sebelumnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development Economy and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berpandangan sejauh ini permasalahan yang menyangkut penyerapan APBD berhubungan dengan administrasi yang tidak fleksibel dari pemerintah pusat. Kondisi ini membuat pemda tidak mengejar goal dari proyek beserta stimulusnya, melainkan nominal anggaran.
“Makanya, yang penting habis sesuai dengan nota meskipun jelang akhir tahun,” katanya.
Akibatnya, alih-alih memberikan stimulus fiskal yang diharapkan menggerakan perekonomian, penyerapan anggaran berpotensi memunculkan moral hazard.
Realisasi Agregat Belanja dalam APBD Hingga Maret 2016 (Rp Triliun)
Pos | Pagu | Realisasi | % |
Belanja Pegawai | 324,404 | 41,057 | 12,66 |
Belanja Barang dan Jasa | 176,501 | 3,576 | 2,03 |
Belanja Modal | 199,259 | 1,153 | 0,58 |
Belanja Lainnya | 156,626 | 6,595 | 4,21 |
Total Belanja | 856,792 | 52,478 | 6,12 |
Sumber: DJPK Kemenkeu, 2016