Bisnis.com, JAKARTA - Pola pikir kebijakan itu tidak berubah dari tahun lalu, tahun pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Nafsu belanja yang begitu besar – dengan alasan pertumbuhan ekonomi – kembali mengaburkan sisi realistis pos lainnya, terutama penerimaan.
Sekilas tidak ada hal krusial lagi dari sinyal skenario perubahan APBN 2016 yang dihasilkan dalam sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenen, Kamis (7/4/2016). Secara logika sederhana, ada pemangkasan target penerimaan dan pagu belanja. Karena pemangkasan target penerimaan lebih besar, pemerintah memutuskan memperlebar defisit dengan utang.
Mari coba melihat lebih dalam. Pemangkasan yang terjadi dalam target penerimaan ternyata disinyalkan tidak menyentuh sama sekali pos pajak nonmigas, padahal dalam pemberitaan Bisnis selama ini, seluruh pengamat kompak menyatakan target penerimaan pajak yang menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak (DJP) lah yang wajib dipangkas selain penerimaan migas.
Dalam rapat yang berlangsung lebih dari 1,5 jam tersebut, otoritas hanya memberikan sinyal tegas penurunan target penerimaan pajak di pos pajak penghasilan (PPh) migas senilai Rp17 triliun. Langkah ini sejalan dengan ancang-ancang penurunan asumsi harga minyak menjadi US$30 per barel. Adapun, target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) turun Rp75,6 triliun.
Sementara itu, penerimaan nonmigas akan dijaga sesuai dengan target awal Rp1.318,7 triliun. Potensi kehilangan penerimaan pajak Rp18 triliun yang muncul dari rencana kenaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) 50% mulai tahun ini pun diklaim bisa ditutupi. Apalagi, kali ini, pemerintah kembali lagi percaya diri dengan keberhasilan tax amnesty.
“Ya pokoknya total pajak nonmigas kami jaga. Kami sudah memasukkan tax amnesty,” tandas Menteri Keuangan Bambang P. S. Brodjonegoro ketika ditanya target penerimaan pajak yang masih cukup tinggi, Jumat (8/4).
Secara total, jika ada penurunan target PPh migas Rp17 triliun, penerimaan pajak ditargetkan menjadi Rp1.343,2 triliun, atau naik 26,6% dari realisasi tahun lalu Rp1.060,9 triliun. Kenaikan itu masih besar di pos pajak nonmigas dengan target tetap Rp1.318,7 triliun atau naik 30,4% dari realisasi tahun lalu Rp1.011,2 triliun.
Dari sisi ini, pemerintah terlihat sangat yakin dengan keberhasilan tax amnesty. Bahkan, Menkeu Bambang bersiap memanggil beberapa nama yang muncul dalam skandal Panama Papers untuk ikut kebijakan itu karena ada kecocokan dengan data yang dimiliki DJP. Jika batal diimplementasikan, tahun penegakan hukum pun dilancarkan lewat masifnya pemeriksaan.
Bisnis.com mencatat, sebelumnya Presiden Joko Widodo mengatakan tidak ada ketergantungan perubahan postur APBN 2016 kepada tax amnesty. Proses kalkulasi, sambungnya, akan dilakukan dengan optimistis tapi tidak menghilangkan aspek realitis. “Tentu saja kalau [target penerimaan pajak] diubah nanti di APBN Perubahan. Masih dikalkulasi, kami ingin tidak terlalu optimistis. Optimistis tapi realistis,” tutur sang Kepala Negara. (Bisnis, 30/3/2016).
Nyatanya, alasan yang sama, untuk memacu pertumbuhan ekonomi, penahanan target peneriman pajak nonmigas dibarengi dengan pelebaran defisit dari 2,15% menjadi 2,5% terhadap produk domestik bruto. Pelebaran defisit ini akan ditutupi dengan sisa lebih pembiayaan anggaran tahun lalu Rp19 triliun dan utang baru Rp21 triliun.
Dengan janji yang sama, pemerintah akan memprioritaskan pinjaman bilateral maupun mulilateral dari pada menambah penerbitan surat berharga negara (SBN). Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pinjaman program tersebut lebih murah dari sisi imbal hasil sehingga tidak membebani fiskal di kemudian hari.
Distorsi Ekonomi
Saat dimintai tanggapan, beberapa pengamat dan ekonom pun merasa heran dengan ‘kebebalan’ pemerintah. Jika rantai keambisiusan berbalut ‘optimistis tapi realistis’ yang dimulai tahun lalu tidak dihentikan detik ini, mereka meyakini risiko fiskal masih besar. Alih-alih mendorong perekonomian, terlalu agresifnya upaya pengamanan target pajak justru berpotensi mendistorsi ekonomi.
Bawono Kristiaji, pakar pajak dari Danny Darussalam Tax Center, menyayangkan jika dalam RAPBNP 2016 tidak ada revisi ke bawah target penerimaan yang menjadi tanggung jawab DJP ke level realistis. Pemerintah, lanjutnya, jelas harus bekerja ekstra-ekstra keras jika tetap mempertahankan target pos penerimaan yang memiliki kontribusi terbesar dalam APBN.
“Namun sektor tersebut memiliki risiko lebih besar karena lebih elastis terhadap pertumbuhan ekonomi dan kepatuhan yang masih rendah,” katanya.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) berpendapat jika pemerintah kukuh dengan target tersebut, potensi munculnya kebijakan pemungutan pajak yang agresif akan terjadi. Pengalaman selama dua tahun pertama yang memikirkan perbaikan fundamental dan prasyarat perpajakan yang baik akan berbahaya.
Apalagi, pada saat yang bersamaan, belum terukur benar belanja pemerintah ke pertumbuhan. Seharusnya, pemerintah mendorong sektor swasta dan rumah tangga untuk pulih dengan meningkatkan konsumsi. “Lah kalau pajak agresif ya impas. Artinya pemerintah menegasi sendiri kebijakannya. Dalam situasi seperti ini saya kira berat kalau mengandalkan sesuatu yang tidak jelas dan tak terukur seperti target tax amnesty,” ungkapnya.
Baik Bawono maupun Prastowo menghitung angka pajak total Rp1.260 masih cukup realistis. Bawono sudah memperhitungkan posisi tengah antara target APBN 2016 dengan angka berdasarkan analisis multivariate – skenario pesimistis – Rp1.092 triliun. Sementara Prastowo sudah memperhitungkan adanya tax amnesty.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listyanto menilai kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih menjadikan otoritas akan kesulitan mengambil potensi lebih dari besar dari rerata tren realisasi saat ini sekitar 15%.Pasalnya, jika pemerintah tetap kukuh mempertahankan target akan berisiko juga terhadap sektor riil.
“Kalau targetnya terlalu tinggi, tapi situasi ekonominya tidak mendukung, ya defisitnya bisa melebar lagi di akhir tahun. Peningkatan utang di tengah kondisi ekonomi yang melemah akan meningkatkan risiko negara (country risk) yang biasanya juga akan dibebankan pada utang sektor riil,” katanya.
Dengan pengalaman tahun lalu, Kabinet Kerja seharusnya sudah belajar banyak. Jangan sampai skema-skema penahanan restitusi ataupun ijon yang selama ini marak dikeluhkan pengusaha menjadi jalan pintas budget dressingtiap akhir tahun. Jika menyadari peran strategis fiskal tahun ini, seharusnya celah risiko dari domestik bisa ditutup, bukan dibiarkan.
Dari situ, barulah bisa dengan percaya diri bisa mengatakan, “Ekonomi global tidak sesuai yang kita perkirakan,” pada akhir tahun jika rekor shortfall kembali terjadi. (*)
Tabel Penerimaan Pajak Nonmigas
Tahun | APBN | APBNP | +/(-) | Hasil | +/(-) |
2005 | 243 | 255 | 12 | 264 | 9 |
2006 | 325 | 333 | 8 | 315 | (18) |
2007 | 411 | 395 | (16) | 381 | (14) |
2008 | 484 | 481 | (3) | 494 | 13*) |
2009 | 591 | 528 | (63) | 494 | (34) |
2010 | 611 | 597 | (14) | 567 | (30) |
2011 | 709 | 698 | (11) | 667 | (31) |
2012 | 853 | 817 | (36) | 753 | (65) |
2013 | 971 | 921 | (50) | 833 | (88) |
2014 | 1.034 | 989 | (45) | 894,5 | (94,5) |
2015 | 1.113 | 1.244,7 | 131,7 | 1.011,2 | (233,5) |
Keterangan:
*) Akibat penahanan restitusi
Sumber: LKPP 2005-2013 & Kemenkeu 2016, diolah