Bisnis.com, JAKARTA - Warga penghuni apartemen Green Pramuka City, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, akan menggugat melalui jalur hukum terhadap pihak pengembang dan pengelola apartemen tersebut bila tetap memaksakan sejumlah kebijakan yang tidak ramah pada warga.
Perwakilan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) Green Pramuka City Muhadkly Acho mengatakan, kebijakan yang ditetapkan oleh PT Mitra Investama Perdana selaku pengelola sudah sangat keterlaluan sehingga tidak dapat lagi diterima warga.
Sejak Jumat (1/4/2016) mendatang, pengelola menaikan iuran pengelolaan lingkungan (IPL) dari RP13.000/ m2/ bulan menjadi Rp16.500/ m2/ bulan di luar PPN, tergolong mahal dibandingkan rata-rata tarif IPL apartemen lainnya di Jakarta. Pengelola pun tidak menunjukkan laporan keuangan pertanggungjawaban atas kebijakan tersebut.
Selain itu, sejak Selasa (5/4/2016) mendatang, penghuni hanya berhak parkir di basement 2, yang kapasitas totalnya hanya sekitar 600-an mobil. Padahal, seluruh unit di empat menara terbangun Green Pramuka mencapai sekitar 4.000 unit. Apabila penghuni parkir di lantai ground dan basement 1 akan dikenakan tarif per jam, yaitu Rp4.000/ jam untuk mobil dan Rp2.000/ jam untuk sepeda motor.
Selama ini, pengelola juga memberlakukan biaya izin fitting out (renovasi) unit kepada pemilik unit yang merenovasi unitnya dengan menggunakan kontraktor non-rekanan pengembang.
Biaya tersebut antara lain servis AC sebesar Rp30.000, pasang kaca Rp50.000, pasang bracket TV Rp200.000, servis furniture Rp750.000, pasang wallpaper full Rp1,5 juta, pengecatan full Rp1,5 juta, pasang batu keramik Rp4 juta, dan sebagainya.
“Ini sudah keterlaluan. Di lihat dari sisi mana pun kebijakan mereka tidak masuk akal. Sabtu nanti [2/4/2016] kami akan adakan demo akbar untuk menolak kebijakan ini. Kalau masih dipaksakan, kami rencanakan untuk melalui jalur hukum,” katanya kepada Bisnis, Selasa (29/3/2016).
Hingga saat ini, tuturnya, pihak pengembang pun belum memfasilitasi pembentukan P3SRS, sehingga warga terpaksa berinisiatif membentuk P3SRS sendiri. Seturut ketentuan UU 20/2011, pengembang wajib memfasilitasi pembentukan P3SRS paling lambat setahun sejak penyerahan kepada pemilik dan selama setahun itu wajib mengelola rumah susun.
Akan tetapi, setelah tiga tahun P3SRS bentukan warga tetap tidak diakui. Sementara itu, tuturnya, izin pengelolaan oleh PT Mitra Investama Perdana patut diragukan sebab sudah mengelola lebih dari satu tahun.
“Kami akan minta legalisasi ke PTUN atas P3SRS dan sebaliknya menuntut pengelola sekarang untuk pertanggungjawabkan izin pengelolaannya,” katanya.
Hingga saat ini, warga belum memiliki sertifikat kepemilikan satuan rumah susun, tetapi pihak pengelola sudah memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari warga tanpa adanya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dari Kantor Pelayanan Pajak.
“Banyak sekali yang dilanggar, antara lain UU PBB. Dulu kita juga dijanjikan 80% ruang terbuka, tapi nyatanya tidak ada, artinya dia langgar UU Perlindungan Konsumen. Sekarang kita dipaksa pakai kontraktor mereka untuk fitting out, itu juga langgar UU Anti Monopoli,” katanya.