Bisnis.com, JAKARTA - “Kita membangun klub sepak bola dengan triliunan rupiah, tetapi tidak mampu jadi juara dunia. Namun, dengan membangun potensi lokal, ternyata kita bisa jadi juara dunia.”
Ungkapan tersebut disampaikan Bupati Banyuwangi Aswar Anas dalam acara diskusi Jakarta Desain Week Conference 2016 bertema Cities of Inovation di Jakarta Convention Center, Kamis (17/3).
Kabupaten Banyuwangi pada Januari lalu memang berhasil menyabet penghargaan dari badan urusan pariwisata PBB atau UNWTO. Banyuwangi memperoleh penghargaan UNWTO Award for Excellence and Inovation in Tourism untuk kategori Inovasi Kebijakan Publik dan Tata Kelola, mengalahkan Kolombia, Kenya dan Puerto Rico.
Di level nasional, akhir tahun lalu Banyuwangi memperoleh penghargaan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai kabupaten dengan tata ruang terbaik di Indonesia. Di level provinsi, Banyuwangi berhasil meningkatkan rangking minat investasi dari posisi 31 menjadi 3 di Jawa Timur.
Rahasia prestasi Banyuwangi menurut Aswar tidak terlepas dari komitmen untuk menjadikan tata ruang dan arsitek sebagai patokan dasar bagi pola pengambilan kebijakan pemerintah. Dilengkapi dengan visi ecotourisme, Banyuwangi sukses bertransformasi dari yang bukan apa-apa menjadi destinasi pariwisata baru yang luar biasa.
“Sehebat apa pun daerah, kalau tanpa tata ruang yang berkualitas, investor tidak punya pilihan yang jelas untuk menentukan di mana berinvestasi,” katanya.
Trobosan utama Aswar membangun Banyuwangi adalah keputusannya melibatkan arsitek-arsitek ternama di Tanah Air untuk merancang pembangunan kota, terutama penyediaan ruang publik berkualitas. Mereka antara lain Andra Matin, Yori Antar, Budi Pradono, Adi Purnomo, dan pasangan Ahmad dan Wendy Djuhara.
Menurutnya, arsitek-arsitek hebat tidak jarang justru enggan mengikuti proses tender dalam proyek pemerintah. Oleh karena itu, inisiatif pemerintah untuk mengikutsertakan mereka, bahkan sejak perencanaan pembangunan, menjadi sangat penting.
“Kepala daerah itu kalau tidak bergaul dengan arsitek, bangunannya tidak akan timeless. Bangunan zaman Bung Karno seperti Hotel Indonesia, Katedral, Istiqlal itu timeless karena karya arsitekulung,” katanya.
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Stevanus J. Manahampi mengatakan, tantangan utama pembangunan ruang publik perkotaan Indonesia selama ini adalah tiadanya instrumen kebijakan yang jelas untuk mengatur tata dan fungsi ruang publik.
Ruang publik di sebagian besar kota Indonesia seringkali hanya sebatas ada, tetapi tanpa fungsi yang optimal dan bernilai tambah. Ruang terbuka hijau sering kali terbatas hanya sekadar taman hiasan kota, tidak lebih.
Padahal, di sejumlah negara lain, ruang publik sudah dilengkapi aneka fasilitas yang bernilai tambah sehingga meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar.
Menurutnya, perlu ada kebijakan komprehensif yang berorientasi pada peningkatan kualitas pemanfaatan ruang perkotaan. Dirinya mencontohkan kebijakan yang berlaku di Amerika Serikat, bahwa bila dalam setahun lahan yang dibeli tidak dibangun atau dioptimalkan, pemiliknya wajib membuka akses kepada publik atau pemerintah untuk memanfaatkan lahan tersebut.
“Artinya, kota tidak mau ada lahan kosong. Kalau tidak ada lahan kosong, berarti kota itu hidup. Namun di sini, di tengah kota banyak tanah kosong tidak termanfaatkan, tetapi harganya terus melambung. Tanah di sini jadi komoditas,” katanya.
Dirinya sepakat bahwa keterlibatan kalangan arsitek punya peran penting bagi pembangunan kota. Untuk itu, peningkatan kualitas arsitek menjadi agenda penting yang harus diperhatikan bersama. Kalangan arsitek saat ini sangat menanti penerbitan UU Arsitek.
“Membangun kota itu butuh arsitek yang bagus dan juga perangkat regulasi yang mumpuni. Kalau hanya mengandalkan salah satu, kota itu tidak akan maju,” katanya.
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Oswar Mungkasa mengakui, paradigma pembanguan ruang publik di antara berbagai stakeholder di Indonesia saat ini masih terpecah.
Di DKI Jakarta, tuturnya, banyak pengambil kebijakan yang memahami bahwa alokasi anggaran untuk ruang publik merupakan beban biaya yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan perekonomian kota. Alokasi anggaran untuk peningkatan ruang publik pun terbatas.
Dirinya juga mengakui di DKI Jakarta, ruang publik belum terinternalisasi dalam kebijakan pemda. Belum banyak regulasi yang mengatur tata dan fungsi ruang publik. Belum ada grand design dan rencana aksi yang jelas bagi penataan ruang terbuka perkotaan.
“Pembangunan ruang terbuka hijau selama ini berjalan karena ada jawara-jawara di daerah yang usahakan. Jadi, kalau uangnya ada ya kita bangun, kalau tidak ada ya sudah [tidak bisa dibangun],” katanya.
Meski begitu, tuturnya, saat ini Pemda DKI Jakarta sudah berupaya untuk meningkatkan kualitas ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta. Ruang terbuka hijau privat saat ini sudah mencapai 14%, lebih tinggi dari target 10%. Namun, ruang terbuka publik baru 9,8% dari target 20%.
Menurutnya, masih ada sekitar 6.500 hektar lahan yang harus dibebaskan untuk dijadikan RTH. Teranyar, pemerintah melakukan penggusuran bangunan-bangunan di Kalijodo, Jakarta Barat, seluas 2,5 hektar untuk dialihfungsikan menjadi RTH.
“Prinsip dasar kita membangun RTH kali ini adalah dengan pendekatan yang berpusat pada manusia dan mendukung perkembangan kota. Jadi, taman itu harus multifungsi, bukan hanya beautifikasi kota,” katanya.
Tidak mudah bagi DKI Jakarta untuk mengusahakan tercapainya target RTH, apalagi sebagian besar lahan negara sudah ditempati warga. Sepanjang tahun lalu, dari alokasi Rp3,3 triliun untuk pembebasan lahan bagi RTH, hanya terserap Rp1 triliun. Pemerintah harus lebih dahulu menyiapkan rumah susun untuk relokasi warga sebelum menggusur, sementara ketersediaan rusun pun terbatas.
Jakarta dan Banyuwangi tentu memiliki karakter yang berbeda dan kompleksitas masalah yang unik, demikian pun kota-kota lainnya di Indonesia. Namun, komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah tentu menjadi faktor yang sama dalam menentukan arah pembangunan setiap kota.
Indonesia menunggu Banyuwangi-Banyuwangi baru muncul di kota-kota lainnya dengan karakteristik dan keunggulan yang khas. Momen pilkada beberapa waktu lalu kiranya juga menjadi harapan baru bagi perbaikan kualitas kota di masa mendatang.