Bisnis.com, JAKARTA - Para peserta sebuah seminar akuakultur yang berlangsung pada Kamis (25/2/2016) pekan lalu itu cukup dikejutkan ketika salah seorang pembicara, Budhi Wibowo, menyebutkan nama Indonesia akan hilang dari daftar eksportir utama perikanan global.
Itu adalah penampilan perdana Budhi dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I). Dia baru saja terpilih memimpin asosiasi yang beranggotakan pengusaha gudang pendingin atau cold storage perikanan itu Desember 2015.
Sembari memimpin organisasi pengusaha, Budhi juga nyambi sebagai pengajar di Universitas Ciputra, Surabaya. Karena itu, pemaparannya disertai informasi up to date ala akademisi, yang para praktisi biasanya belum pernah dengar.
Budhi mengungkapkan Food and Agriculture Organization (FAO) meramalkan Indonesia akan terpental dari daftar negara eksportir perikanan top dunia pada 2024.
Hal ini bertolak belakang dengan logika para peserta seminar, plus janji-janji pemerintah yang ingin mendudukkan negeri ini sebagai Poros Maritim Dunia.
Lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menyitir hasil kajian bertajuk OECD—FAO Agricultural Outlook 2015—2024. OECD atau The Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD merupakan organisasi kerja sama ekonomi yang berbasis di Paris, Prancis.
Sementara FAO merupakan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermarkas di Roma, Italia, dan mengurus pangan dan pertanian dunia.
Sebenarnya, laporan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan nama Indonesia. Yang ada ialah proyeksi “klasemen” penguasa pasar eksportir perikanan pada 2024. Dalam satu windu ke depan, China akan menguasai 21% dari nilai ekspor global, diikuti Vietnam (8%), Norwegia (8%), Amerika Serikat (6%), Thailand (6%), dan Uni Eropa (6%).
“Jadi nama Indonesia sudah tidak ada lagi, kita hanya masuk dalam kategori others [yang lain-lain],” kata Budhi.
Padahal, selama beberapa tahun ke belakang nama Indonesia masih disebut-sebut sebagai pemain top. Pada 2012, misalnya, negara ini masuk dalam urutan ketujuh eksportir terbesar dengan nilai US$3,85 miliar. Pada 2015, dengan estimasi nilai ekspor sekitar US$4,5 miliar (sama dengan 2014), Indonesia nangkring di peringkat kesepuluh. Tahun lalu, nilai perdagangan perikanan global sudah menyentuh angka US$130 miliar.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak percaya dan bahkan belum mendengar ramalan tersebut. Dia lantas meminta Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Kementerian Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo untuk mengecek kebenarannya.
Lewat akun Twitter-nya, Susi mencuit pesan dari Nilanto yang juga mengaku belum pernah membaca laporan FAO yang meramal Indonesia terlempar dari daftar pemain penting di pasar perikanan global.
“Saya yakin data yang digunakan adalah out of date. Analisis FAO umumnya pakai data minus 2 tahun. Saat ini saya masih menunggu original article FAO dimaksud,” kata Nilanto.
Ketidaktahuan serupa juga datang dari Director of the Fisheries and Aquaculture FAO (2012—2014) Indroyono Soesilo. Dia mengaku ketika masih memimpin direktorat tersebut—sebelum kemudian ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman pada 27 Oktober 2014—tidak ada kajian tentang proyeksi perikanan global.
“Yang ada itu cuma data hasil-hasil perikanan tahun-tahun sebelumnya,” katanya ketika dikonfirmasi Bisnis.com, Sabtu (27/2).
Budhi mengungkapkan dirinya memang mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari berbagai kalangan setelah pulang dari seminar tersebut. Sebagian orang terkejut, lainnya ragu bahwa FAO pernah secara khusus memprediksi soal kondisi Indonesia.
“Itu kan cuma prediksi saja. Kalau tidak terima tinggal dibuktikan kalau prediksi itu salah. Kok malah jadi heboh begini,” katanya enteng, kala dihubungi terpisah, Sabtu.
ISI KAJIAN
Laporan OECD-FAO Agricultural Outlook 2015—2024 berisi proyeksi komoditas-komoditas pertanian, salah satunya adalah sektor perikanan yang dimuat dalam bab berjudul Fish. Untuk produksi ikan, laporan itu memproyeksikan pertumbuhan sebesar 19% pada 2024, dibandingkan dengan hasil 2014.
Pada 8 tahun ke depan, produksi perikanan mencapai 191 juta ton. Dari jumlah itu sebanyak 96 juta berasal dari sektor perikanan budi daya (tumbuh 38%). “Pertumbuhan produksi perikanan akan dirangsang oleh permintaan yang tinggi akan ikan dan perkembangan teknologi,” kata laporan itu.
Jika pada 2014 perikanan tangkap masih dominan, keadaan diprediksi mulai berbalik pada 2023. Itulah saat di mana produksi ikan akuakultur (budi daya) lebih tinggi dari ikan tangkapan. Pertumbuhan itu sejalan dengan peingkatan konsumsi per kapita dunia, dari 19,7 kg menjadi 21,5 kg.
Implikasinya, suplai produk antarnegara melonjak sehingga memengaruhi kondisi ekspor dan impor. Pada 2024 diperkirakan sepertiga dari produksi untuk konsumsi (45 juta ton) akan dieskpor ke negara lain. Selain dirangsang kebutuhan, peningkatan didorong a.l. oleh kebijakan perdagangan bebas, globalisasi sistem makanan, dan inovasi teknologi dan logistik.
Pada bagian inilah Indonesia diprediksi hanya akan menjadi “pemain penggembira”. Padahal, negara-negara Asia akan berkontribusi sebesar 57% nilai tambahan ekspor 2014-2024. Pangsa negara-negara Asia menjadi 50% buntut dari peningkatan produksi perikanan budi daya.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, negara Asia seperti China, Thailand, dan Vietnam akan bertengger sebagai pemain top.
Menurut Budhi Wibowo, masuknya Vietnam dan Thailand yang merupakan kompetitor Indonesia harus menjadi cambuk untuk membuat negeri ini berbenah. Posisi itu sama sekali tidak mencerminkan kondisi sebenarnya: Indonesia sebagai negara kelautan terbesar sekaligus pemilik garis pantai terpanjang nomor dua di dunia.
Indonesia, kata dia, perlu bertransformasi menjadi negara industri seperti yang sudah dimulai negara lain di Asean. Di sektor perikanan, hal itu termanifestasi lewat pemenuhan sejumlah prasyarat seperti jaminan bahan baku, modal, distribusi, tenaga kerja, dan ketersediaan pasar. “Yang masih belum dialami industri nasional adalah kepastian bahan baku dan transportasi yang masih mahal.”
Sementara itu, Indroyono Soesilo mengingatkan, pemerintah untuk menggenjot produksi yang bersumber dari perikanan budi daya. Merujuk tren sebelum 2014, dia mengatakan, produksi perikanan tangkap global stagnan pada kisaran 85 juta—90 juta ton per tahun. Sebaliknya, perikanan budi daya bisa tumbuh 8% pada kisaran 60 juta ton—70 juta ton. “Seharusnya tren dunia ini tidak jauh beda dengan nasional.”
Namun, ujar mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan KKP ini, potensi itu belum terejawantah dalam kebijakan anggaran. Pernyataan itu terkonfirmasi dengan pagu anggaran KKP 2016 yang “hanya” mengalokasikan Rp1,67 triliun untuk Direktorat Jenderal Budi Daya, sedangkan Ditjen Perikanan Tangkap mendapat jatah Rp3,51 triliun. Tahun ini, anggaran KKP Rp13,8 triliun dan kemungkinan akan dipangkas menyusul melesetnya target penerimaan negara.
Laporan OECD—FAO Agricultural Outlook 2015—2024 bukan tidak ada kelemahan. Misalnya, peneliti belum memasukkan kondisi Indonesia terkini di era Susi Pudjiastuti. Ekspor China, misalnya, diasumsikan tumbuh 2,5% per tahun dan Vietnam terdongkrak 3,5%. Sementara Susi pernah mengatakan pertumbuhan sektor perikanan di negara lain minus karena kebijakan Pemerintah Indonesia memberantas praktik IUU Fishing di laut Indonesia.
Menurut Susi, sektor perikanan di Indonesia bisa tumbuh 8,69% pada kuartal IV tahun ini. Dia memprediksikan pertumbuhan perikanan pada tahun ini bisa mencapai 12%.
Namun, Budhi Wibowo mewanti-wanti agar optimisme itu tetap dibarengi dengan aksi konkret. Pemerintah dan pelaku usaha mesti bahu-membahu bekerja sama.
Regulator menciptakan iklim usaha yang kondusif, dan para pebisnis meningkatkan investasi, kapasitas produksi, dan nilai tambah. “Saya berharap semua stakeholder perikanan terpacu agar ramalan FAO itu tidak benar. Kalau tidak, Indonesia hanya masuk dalam others.”