Bisnis.com, JAKARTA - China tampaknya mulai perluasan ancaman kepada Amerika Serikat. Tak hanya dari sisi moneter dan represi di Laut China Selatan, kini ancaman tersebut telah mencapai sektor keamanan data nasional yang menyusup melalui ekspansi masif perusahaan Negeri Panda di Negeri Paman Sam itu.
Bisa jadi, diakui atau tidak, kondisi tersebut menarik perhatian Gedung Putih. Perkembangan yang tidak bisa dianggap remeh. Hal itu makin memuncak setelah perusahaan China Chongqing Casin Enterprise Group, berencana melakukan pembelian bertingkat pada Bursa Efek Chicago.
Hal tersebut membuat 46 anggota parlemen AS, yang mayoritas berasal dari Partai Republik, meminta Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (CFIUS), untuk mengawasi secara ketat serta mengaudit rencana akuisisi tersebut.
Mereka khawatir, apabila aksi korporasi tersebut lolos dari audit secara ketat, perusahaan tersebut akan dijadikan oleh China sebagai media untuk mengakses data perusahaan, perekonomian nasional, dan bahkan keamanan AS.
Sementara itu, berdasarkan data dari Thomson Reuters, setidaknya telah terjadi 22 transaksi merger dan akuisisi di AS yang melibatkan perusahaan China sepanjang 2016. Proses akuisisi pada tahun ini diperkirakan membukukan nilai US$23 miliar.
Jika dilihat dari nilai akuisisinya, jumlah ini meningkat pesat dari 2015 yang mencatatkan 88 aksi penawaran senilai US$13 miliar. Sementara itu pada 2014, dalam 88 aksi penawaran tercatat hanya mencapai US$7 miliar.
Komunitas Intelejen AS menduga, beberapa mantan pejabat AS yang pernah bekerja dengan CFIUS menjadi ujung tombak lolosnya beragam proses akuisisi perusahaan China kepada perusahaan AS.
Mereka yang tergabung dalam barisan pengacara, konsultan dan pelobi bisnis, telah muncul sebagai broker kunci bagi perusahaan dari Negeri Tembok Besar itu.
Para mantan pejabat tesebut, berhasil mengelabui CFIUS untuk memberikan izin akuisisi. Pengetahuan dan pengalaman yang mendalam terhadap sistem yang ada di dalam CFIUS membuat para broker tersebut sukses.
Pemerintah AS mencurigai, pemerintah atau perusahaan asing telah menggunakan strategi yang terkoordinasi untuk memperoleh perusahaan AS yang mengembangkan teknologi mutakhir.
"Menurut perkiraan kami dalam riset terakhir, perusahaan teknologi informasi, perusahaan elektronik, serta perusahaan bahan dan perusahaan semikonduktor adalah target utama dari upaya-upaya tersebut,” papar CFIUS dalam keterangan resminya.
Di antara mantan pejabat CFIUS yang memanfaatkan pengalamannya di otoritas tersebut adalah Anne Salladin. Selama di otoritas tersebut, dia telah mengkaji sekitar 500 penawaran akuisisi perusahaan asing kepada perusahaan AS.
Namun, ketika berpindah ke firma hukum Stroock & Stroock & Lavan LLP, Salladin terindikasi telah ikut menjadi penasihat sebuah perusahaan ekuitas swasta China, untuk melakukan akuisisi beberapa aset perusahaan semikonduktor AS.
Sementara itu, pejabat lainnya yang dulu bekerja sebagai sekretaris asisten deputi untuk keamanan investasi Kementerian Keuangan AS Nova Daly, juga diindikasikan terlibat dalam kasus tersebut.
Daly saat ini bekerja di firma hukum Wiley Rein LLP. Dia terlibat dalam proses akuisisi Western Digital Corp oleh perusahaan China Unisplendour Corp Ltd.
Terakhir adalah mantan asisten sekretaris Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk kebijakan Stewart Baker, yang sekarang bergabung dengan firma hukum Steptoe & Johnson LLP. Baker tercatat terlibat dalam proses akuisisi Motorola Mobility oleh Lenovo Group pada 2014.
Sanksi Ekonomi
Sementara itu, berdasarkan risetnya tentang investasi asing langsung ke AS, CFIUS justru tidak menemukan transaksi merger dan akuisisi dengan investor dari Kuba, Iran, Suriah atau Venezuela. Keempat negara tersebut adalah negara yang menolak bekerja sama dengan upaya anti terorisme AS.
Di sisi lain, kegiatan investasi ini konsisten dengan sanksi ekonomi AS kepada negara-negara tersebut.
Uniknya dalam riset yang dipublikasikan kepada Kongres AS pada 19 Februari 2016, CFIUS melaporkan, transaksi tertutup (covered transaction) selama 2014-2016 telah didominasi oleh China.
Transaksi tertutup merupakan risiko keamanan nasional yang berasal dari investasi yang dapat mengakibatkan kontrol asing terhadap bisnis AS.
Pada 2014 China tercatat mengajukan izin transaksi tertutup sebanyak 24 kali. Sementara itu Britania Raya di posisi kedua tertinggi yakni 21 kali. Kanada menjadi yang terbesar ketiga dengan 15 kali.
Kondisi ini rupanya memancing tanggapan negatif yang makin besar dari para politisi Negeri Paman Sam itu. Terlebih perselisihan Laut China Selatan yang selama ini terjadi, semakin diperparah oleh aksi pembajakan situs perusahaan, situs pejabat dan software keamanan AS, yang dituding dilakukan oleh China.
Kondisi ini, membuat anggota Kongres dari Parta Demokrat Rosa DeLauro, mengajukan usulan untuk memperluas kewenangan CFIUS. Otoritas ini nantinya berhak untuk melakukan audit terkait aksi merger dan akuisisi.
Apabila dianggap berpotensi merugikan AS dan tidak transparan, maka otoritas ini berhak membatalkan proses akuisisi dari perusahaan asing tersebut.
Kasus ini secara tak langsung, membuat proses penawaran akusisi perusahaan China kepada perusahaan AS batal dengan sendirinya. Pada Selasa (23/2) Western Digital Corp mengatakan, China Unisplendour Corp Ltd telah mundur dari keikutsertaannya membeli saham di perusahaan tersebut.
Fairchild Semiconductor pada awal bulan ini juga menolak tawaran akuisisi dari China Resources Mikroelektronika Ltd dan Hua Capital Management Co Ltd.
Semenetara itu, pada Januari 2016, Philips juga membatalkan kesepakatan US$3,3 miliar untuk menjual unit usaha pembuat lampu LED kepada investor China. (Reuters)