Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian meminta Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dapat meredam kampanye negatif atas industri sawit Indonesia di luar negeri.
Asisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura Kemenko Perekonomian Wilistra Danny mengatakan RSPO telah melihat bahkan melakukan sertifikasi praktik sawit berkelanjutan di Indonesia. Sebagai lembaga internasional, dia menilai RSPO memiliki otoritas untuk menjawab tudingan dari negara maju seperti Prancis.
“RSPO harus jadi corong kita, jangan cuma diam. Mungkin Prancis belum melihat secara komprehensif,” ujarnya dalam acara diskusi di Jakarta, hari ini, Rabu (17/2/2016).
Sebagaimana diketahui, pemerintah Prancis telah mengajukan usulan pajak progresif dalam rancangan undang-undang ke parlemen. Pajak progresif berupa tarif impor CPO dan turunannya itu akan naik secara gradual.
Pada 2017, tarif tiap ton CPO sebesar 300 euro, setahun kemudian melonjak menjadi 500 euro. Kenaikan menjadi 700 euro pada 2019, hingga berhenti di angka 900 euro.
Menanggani permintaan tersebut, Direktur RSPO Indonesia Tiur Rumondang mengklaim jaringan lembaga itu di luar negeri sudah cukup gencar mempromosikan sawit Indonesia melalui berbagai forum diskusi. “Tapi kalau untuk intervensi kebijakan pemerintah kami tidak bisa sejauh itu,” tuturnya di lokasi yang sama.
RSPO merupakan asosiasi para pemangku kepentingan kelapa sawit yang dibentuk pada 2004. Standar RSPO mengacu pada delapan prinsip dan sekitar 40 kriteria pengelolaan sawit berkelanjutan. Organisasi itu terdaftar di Zurich, Swiss, dengan kantor sekretariat di Kuala Lumpur, Malaysia, dan kantor perwakilan di Jakarta, London.
Sebanyak 143 entitas perusahaan di Indonesia tercatat memiliki sertifikat RSPO. Pasalnya, RSPO adalah standar praktik berkelanjutan yang diterima internasional. Sementara sertifikasi keluaran pemerintah, Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), belum diakui.