Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan milik negara yang bergerak di sektor produksi garam, PT Garam, tengah menjajaki peluang kerja sama investasi untuk mengembangkan sejumlah industri pergaraman yang memiliki potensi bisnis yang sangat baik di Tanah Air.
Selama ini, bisnis inti PT Garam hanya berfokus pada peningkatan produksi garam baik dengan perluasan lahan garam maupun mengintensifkan konsolidasi dengan petani garam yang telah memiliki lahan mandiri.
Direktur Utama PT Garam Achmad Budiono menyampaikan meski Indonesia telah mencapai swasembada konsumsi rumah tangga sejak 2012, beberapa industri garam dan berbahan baku garam amat berpotensi untuk dikembangkan.
“Pertama, pemenuhan bahan baku garam industri Chlor Alkali Plant yang memang belum kita miliki [belum diproduksi] satu ton pun. Padahal impor garam ini mencapai 2,1-2,2 juta ton tahun lalu,” ungkap Achmad dalam paparan business plan PT Garam di Jakarta, Kamis (11/2/2016).
Garam jenis chlor alkali plant (CAP) merupakan garam yang digunakan oleh industri di Indonesia, baik farmasi maupun industri makanan dan minuman (mamin). Volume impor tersebut, setara dengan produksi garam konsumsi Indonesia yang rata-rata per tahun mencapai 2 juta ton.
Dari neraca kebutuhan dan ketersediaan garam Indonesia, dikemukakan bahwa produksi garam nasional tahun lalu yaitu 2,558 juta ton dan konsumsi nasional 1,3 juta ton. Di saat yang sama, kebutuhan garam industri sebesar 2,06 juta ton dan seluruhnya diperoleh dari impor.
Achmad mengatakan beberapa daerah yang berpotensi untuk pengembangan industri garam CAP yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur, karena kedua provinsi ini memiliki bahan baku melimpah dan penggunaan garam CAP terbesar yaitu industri, sebanyak 85%-nya bersarang di Jabodetabek. Dia memprediksi membutuhkan sekitar Rp150 miliar untuk membangun pabrik CAP dengan kapasitas 500.000 ton per tahun.
Kedua, PT Garam mengemukakan ingin menjajaki investasi pengembangan budidaya artemia untuk pakan ikan. Selama ini, Indonesia mengimpor artemia dengan rata-rata harga per kalengnya sebesar Rp800.000.
“Artemia ini komoditas penting yang menentukan proses pembenihan. Selama ini kita impor, kenapa kita tidak coba kembangkan. Mengapa harus kerja sama dengan PT Garam? Karena artemia hanya tumbuh pada air asin yang sangat tua dengan salinitas tinggi, yang hanya dimiliki PT Garam,” ujar Achmad.
Industri lain yang ingin dikembangkan PT Garam bersama investor yaitu pemanfaatan sisa air produksi garam (bittern) sebagai bahan pengawet pangan dengan kapasitas 1 juta per liter per tahun dan nilai investasi berkisar Rp10 miliar.
Achmad pun menawarkan lahan seluas 280 hektare milik perusahaannya di kawasan Gresik, untuk dapat dikembangkan sebagai Kawasan Industri Perikanan.