Bisnis.com, JAKARTA – Kendati volume ekspor CPO ke Perancis secara langsung terbilang cukup kecil dibanding negara-negara tujuan ekspor lainnya, rencana negara itu menerapkan pajak tambahan/ bea masuk CPO akan berdampak besar bagi pasar komoditas tersebut secara keseluruhan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan informasi mengenai rencana kebijakan Perancis tersebut saja telah memberikan sentimen negatif terhadap pasar secara keseluruhan. Terlebih lagi, jika negara lainnya mengikuti langkah serupa atau cenderung setuju dengan kebijakan tersebut.
“Kalau pun tidak membuat regulasi serupa, tetapi cenderung setuju, itu repot menurut saya. Hal itu juga akan berimbas kepada citra produk palm oil juga,” kata Joko kepada Bisnis, Rabu (3/2/2016).
Karena pertimbangan tersebut, maka Indonesia harus segera merespon agar dampak yang ditimbulkan tidak semakin meluas. Menurut Joko, permasalahan yang ditimbulkan di Perancis tidak hanya sekedar besar kecilnya volume ekspor CPO dan produk turunannya ke negara tersebut.
Joko menduga kebijakan tersebut dilandasi oleh motif perdagangan saja, dari produk minyak nabati yang menjadi competitor produk sawit. Alasan kesehatan maupun alasan lingkungan, telah dibuktikan secara ilmiah bahwa minyak sawit lebih sehat dan lebih sustainable dibanding minyak nabati lainnya.
“Ini alasan yang tidak tepat dan dibuat-buat. Jadi tidak ada cara lain selain indoensia mesti merespon, melalui komplain, kalau complain tidak direspon ya diancam, kalau tidak bisa ya dikenakan sanksi atau apalah,” ujarnya.
Menurutnya jika pemerintah Perancis tidak memberikan respon yang diharapkan, pada akhirnya Pemerintah Indonesia mesti mengevaluasi neraca perdagangan Indonesia – Perancis, dengan melakukan retaliasi ekspor produk Indonesia ke Perancis, maupun impor produk Indonesia dari Perancis.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dalam lima tahun terakhir Indonesia selalu mencatatkan defisit dari perdagangan non migas yang dihasilkan dengan Perancis. Pada 2014, defisit yang dihasilkan dari perdagangan tersebut mencapai US$313.188 turun dari tahun sebelumnya sebesar US$528.031. Sementara defisit pada Januari – Oktober 2015 mencapai US$320.787 naik dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$298.052.