Bisnis.com, SURABAYA - Skema pencabutan sengketa pajak dalam RUU Pengampunan Pajak alias tax amnesty berisiko menimbulkan ketidakadilan, khususnya mengenai pelunasan utang pajak.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyampaikan skema itu memicu pertanyaan apakah wajib pajak (WP) tetap harus membayar utang pajak.Pasal 25 ayat (3a) UU No 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan WP yang mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak wajib melunasi pajak minimal sejumlah yang disetujui WP dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
Adapun ayat (3b) menyebutkan jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan tidak termasuk sebagai utang pajak.
"Kalau iya (harus mengakui utang pajak), tidak fair karena WP harus melunasi itu. Yang tadinya WP punya probabilitas menang sengketa besar, sekarang harus dicabut demi ikut tax amnesty," katanya di Surabaya, Kamis (4/2/2016).
Menurutnya, RUU Tax Amnesty harus sekaligus memuat ketentuan bahwa utang pajak dianggap telah dilunasi jika sengketa dicabut. Negara, kata Yustinus, memang akan rugi karena di pengadilan pajak kini menumpuk sekitar 10.000 kasus dengan potensi utang pajak Rp30 triliun.
Namun, jika dibandingkan dengan potensi penerimaan pajak Rp60 triliun jika tax amnesty diberlakukan, penghapusan otomatis utang pajak perlu diterapkan.
"Kalau dipaksakan (otomasi pengakuan utang pajak), orang enggak mungkin (mengajukan) amnesty. Mereka mending pilih selesaikan sengketa," tuturnya.
Namun, penghapusan utang pajak tidak berarti tanpa risiko. Menurutnya, perlu ada antisipasi agar WP tidak menjadikan pengajuan tax amnesty sebagai modus mencabut sengketa.
Draf RUU Tax Amnesty menyebutkan, pengajuan pengampunan harus diiringi dengan pencabutan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar; keberatan; banding; gugatan; atau peninjauan kembali.