Bisnis.com, SURABAYA - Inflasi Jawa Timur sebesar 0,65% pada Januari yang didorong oleh penaikan harga bahan makanan rupanya dipengaruhi aktivitas Gunung Bromo yang menyemburkan debu vulkanik.
Kepala Badan Pusat Statistik Jawa Timur (BPS Jatim) M. Sairi Hasbullah mengatakan bahan makanan merupakan kelompok pengeluaran yang mengalami paling tinggi dibandingkan dengan lain, mencapai 2,36% dengan andil terhadap inflasi 0,48%.
“Masyarakat Jawa Timur membeli bahan makanan dengan harga di atas rerata provinsi lain yang ada di Indonesia,” katanya, di Surabaya, Selasa (2/2/2016).
Aktivitas vulkanik di Gunung Bromo mencakup dua daerah, yakni Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang. Semburan debu vulkanik mengakibatkan rusaknya tanaman pertanian di sekitar Bromo termasuk dua kabupaten ini.
Hal tersebut memicu kenaikan harga sejumlah komoditas sayuran di Jatim, seperti kentang dan tomat sayur. Belum lagi ada kenaikan komoditas lain seperti daging ayam ras, bawang merah, telur ayam ras, bawang putih, emas perhiasan, tarif listrik, rokok kretek filter, dan pasir.
“Tarif listrik untuk kelas menengah naik. Rokok juga naik. Selain itu, pasir tiga bulan terakhir juga semakin mahal padahal kita sedang giatkan pembangunan infrastruktur,” tutur Sairi.
Tarif listrik pada Januari 2016 memicu inflasi lantaran ada pemberlakuan penyesuaian tarif pada Desember 2015. Golongan pelanggan yang termasuk adalah R-1/TR, R-2/TR, dan R-3/TR. Dampaknya baru dirasakan pelanggan pascabayar pada bulan pertama tahun ini.
Kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar adalah kontributor terbesar kedua terhadap inflasi di Jatim setelah bahan makanan, sebesar 0,16%. Adapun laju inflasinya pada Januari dibandingkan dengan bulan sebelumnya mencapai 0,67%.
Sairi menjelaskan komponen pengeluaran yang memberikan andil terbesar ketiga dalam inflasi Jatim adalah makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Porsinya sebesar 0,12% dengan laju inflasi di kisaran 0,74%.
Pada November 2015, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 198/2015 tentang perubahan kedua PMK No 179/2012 tentang tarif cukai hasil tembakau. Beleid ini memastikan tarif cukai rokok naik rerata 11,19% terhitung mulai 1 Januari 2016. “Peraturan menteri keuangan memicu terjadinya kenaikan harga rokok kretek filter,” ucap Sairi.
Ada tiga kelompok pengeluaran lagi yang mengalami kenaikan indeks harga konsumen (IHK), yaitu sandang inflasinya sebesar 0,67% dengan andil 0,04%, kesehatan inflasinya 0,50% dengan andil 0,02%, serta pendidikan, rekreasi, dan olahraga dengan andil 0,01% sedangkan inflasi 0,09%.
Sairi menjelaskan inflasi Jatim sebesar 0,65% masih tertolong kelompok pengeluaran transport, komunikasi, dan jasa keuangan. Sejalan dengan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) mendorong komponen pengeluaran ini deflasi sebesar 1,03%.
Selama Januari 2016 terjadi dua kali penurunan harga komoditas bensin dan solar, yakni pada 5 dan 21 Januari 2016. Pemerintah menurunkan harga bensin jenis premium, pertamax, pertalite, dan solar. Hal ini menyusul harga minyak dunia turun menjadi US$30 per barel.
Angka inflasi Jatim 0,65% disumbang paling banyak dari Kota Surabaya yang mencapai 0,73% atau yang terbesar dibandingkan dengan daerah lain. Adapun yang terendah di Kota Probolinggo sebesar 0,42%.
Sairi mengatakan inflasi kota dan kabupaten yang lain bervariasi, antara lain Kabupaten Banyuwangi 0,67%, Kabupaten Sumenep 0,65%, Kota Malang 0,58%, Kota Madiun 0,49%, Kota Kediri 0,47%, dan Kabupaten Jember 0,43%.
Angka 0,65% yang diperoleh Jawa Timur berasal dari kenaikan indeks harga konsumen (IHK) dari 121,71 pada Desember tahun lalu menjadi 122,50 pada Januari.
Kendati lebih tinggi dari inflasi nasional 0,51%, bila ditarik kurun waktu beberapa tahun ke belakang, pada awal tahun ini inflasi Jatim tak bisa dibilang anomali. Pasalnya perolehan Januari 2016 tidak seberapa besar dibandingkan dengan perolehan bulan yang sama beberapa tahun terakhir.
BPS mencatat pada Januari 2011 sempat menyentuh 0,87%, setahun kemudian menjadi 0,35%, lantas pada 2013 mencuat sampai 0,97%, dan menjadi 1,06% pada dua tahun silam, sedangkan tahun lalu hanya 0,20%.
“Memang [khusus Januari 2016] masyarakat menghadapi situasi di mana harus beli barang dan jasa lebih mahal dari rerata provinsi lain,” kata Sairi.